Sabtu, 04 September 2010

(SUATU) KLARIFIKASI


FRANS DONALD MENGKLARIFIKASI

(SUATU KLARIFIKASI, MENYINGKAP TABIR DUSTA ESRA ALFRED SORU S.Th. & BUDI ASALI M. Div. BESERTA KAWAN-KAWAN SEPEMAHAMANNYA YANG KERAP MENYERANG UNITARIAN )
Oleh: Frans Donald – 081 7971 9991

Sekilas info: tujuan awal tulisan ini ditulis untuk diterbitkan di KORAN HARIAN TIMOR EXPRESS (Jawa Pos Grup) di NTT dalam rangka menanggapi serangan dan dusta-dusta Esra Alfred Soru yg gencar kepada Unitarian yg kerap dilancarkannya melalui koran yang dibaca masyarakat luas di NTT tersebut. TBeberapa bagian dari tulisan ini sudah dikirimkan (pada 13-02-2009) kepada pemimpin redaksi TIMEX guna menanggapi "serangan Esra cs". Namun rupanya pihak redaksi Timor Express tidak bersedia (tidak berani, takut?) menerbitkan tulisan yg 'panas' dan telah menguak dusta-dusta besar Esra Soru cs ini.

Salam, bagi para pembaca.
Pembaca yang bersahaja, tulisan  ini akan cukup panjang . Yang saya sampaikan adalah berisi semacam cerita, kejadian dan hal-hal lain yang bersifat klarifikasi, serta juga berisi tulisan tentang refleksi iman Unitarian.
Sudah lebih dari setahun pasca Debat Unitarian vs Trinitarian di Surabaya tahun 2007 lalu, beberapa email dan SMS serta telpon sempat pernah saya (Frans Donald) terima dari beberapa orang yang menanyakan sekaligus meminta klarifikasi dari saya berkenaan adanya kabar yang cukup gencar (baik melalui Koran maupun internet) dari pihak Esra Alfred Soru & Budi Asali yang intinya mengabarkan bahwa:
“TIM UNITARIAN (FRANS DONALD, BENNY IRAWAN, OKTINO IRAWAN, TIRTO SUJOKO) TELAH KALAH OLEH TIM TRINITARIAN (Pdt. BUDI ASALI M. Div & ESRA ALFRED SORU S Th.) DALAM PERDEBATAN YANG BERLANGSUNG DI TAHUN 2007 DI SURABAYA
Nah, pembaca yang budiman, setelah setahun lebih berlalunya perdebatan di Surabaya, yang ternyata seiring jalannya waktu, makin banyak membuahkan ‘pencerahan’ bagi para penganut “paham Yesus Allah sejati” yang hingga kini banyak yang akhirnya telah bersaksi tegas sudah tidak lagi meyakini paham “Yesus Allah sejati” yang sebelumnya pernah mereka yakini. Dan, satu tahun lebih, lebih dari 12 bulan alias sudah lebih 365 hari, adalah waktu yang saya pandang cukup (bahkan lebih dari cukup) untuk memberi kesempatan bagi Esra Alfred Soru dan Budi Asali cs untuk kiranya ‘sadar’ dari opini-opini publiknya yang selama ini sangat miring terhadap Unitarian. Jika selama ini kami lebih banyak berdiam diri dalam menanggapi kabar-kabar miring tersebut, karena saya berpikir bisa jadi Esra Alfred Soru dan Budi Asali mungkin dahulu khilaf, dan seiring berjalannya waktu, hari demi hari, minggu demi minggu berlalu, bulan demi bulan berlalu, bersama tambahnya usia mungkin keduanya akan menyadari kekhilafannya. Namun, ternyata yang terjadi, adalah tidak demikian. Bahkan belakangan ini polah tingkahnya makin menjadi-jadi dengan menerbitkan tulisan-tulisan yang ‘lemah moral’* melalui media Koran TIMEX yang ditujukan untuk menyerang saya (Frans Donald) dan Unitarian. Esra Soru SARJANA TEOLOGI menyebut Frans Donald sebagai “pemfitnah”, “penipu ulung”, “ular beludak”, “keterlaluan dan kotornya otak si penyesat satu ini”, “dasar penyesat!!!”, “betapa liciknya”, dsbnya (termuat di TIMEX tanggal 9-12 Desember 2008). Dan sempat juga melalui media lain dengan penuh kata-kata yang sangat emosional, sangat kasar, kampungan, umpatan tak bermoral, sangat memalukan dan sangat kekanak-kanakkan yang oleh Esra Soru dan Budi Asali ditujukan terhadap salah seorang rekan saya di NTT saat berpolemik tentang ke-allah-an Yesus, kata-kata “lemah moral” dari orang yang mengaku guru, gembala, pendeta Kristen tersebut di antaranya: “tolol, sesat dan tolol, ngawur, bodoh, tidak becus, bodoh dan gila, tidak punya akal sehat/logika, orang sesat, penyesat” (kata-kata itu semua termuat ‘ter-abadi-kan’ di buku POLEMIK ANTARA A. G. HADZARMAWIT NETTI DAN Pdt. BUDI ASALI, M. Div., --ESRA ALFRED SORU).
Kesempatan satu tahun lebih adalah waktu yang tentu sudah lebih dari cukup membiarkan polah tingkah kedua pendeta dan guru agama, guru moral yang ‘lemah moral’ itu. Maka tulisan yang cukup panjang ini adalah pernyataan serta beberapa klarifikasi dari saya (Frans Donald) seputar kabar miring (dusta) dari pihak Esra Alfred Soru dan Budi Asali cs yang intinya selama satu tahun lebih ini sudah menyiarkan kabar miring bahwa ‘Unitarian telah kalah’ serta segala opini negatif dan fitnah yang berhubungan dengan hal itu.
(* istilah “lemah moral” saya kenakan terhadap Esra Alfred Soru dan Budi Asali mengingat keduanya adalah gembala gereja, guru, penginjil, pendeta yang seyogyanya menjadi guru moral / tauladan moral yang tinggi dan penuh kasih kristiani bagi orang-orang atau masyarakat umum).

Sekilas Kronologi Debat di Surabaya
Acara debat yang berlangsung 9 kali (Maret-Nopember 2007) awalnya bermula dari Esra Alfred Soru yang pada Nopember 2006 selama 5 hari berturut-turut telah menyerang buku saya yang berjudul ALLAH DALAM ALKITAB DAN ALQURAN dengan mempublikasikan serangannya itu melalui Koran TIMEX di NTT. Kemudian Esra Soru dan juga Pimpinan Redaksi TIMEX memohon saya untuk menanggapi tulisan Esra tersebut. Sesungguhnya, semula saya (Frans Donald) samasekali tidak berminat menggubris tulisan-tulisan Esra yang saya nilai penuh pemelintiran dan kecaman itu. Tetapi oleh karena satu alasan lain (alasan yang cukup menggugah saya), yaitu ketika kabar keberadaan tulisan Esra Soru tersebut saya ceritakan pada rekan-rekan Unitarian di Semarang, kemudian saya menjadi tahu bahwa Esra Alfred Soru ternyata adalah teman baik dari kawan saya yang bernama Pendeta Teddy (Pdt. Unitarian yang dulunya adalah mantan penganut Trinitas juga, seperti Trinitas versinya Esra Soru), maka saya mulai berpikir bahwa, adalah sangat baik kalau saya dan TIM UNITARIAN bisa berjumpa / berkenalan langsung / temu darat dengan Esra agar bisa ‘duduk bareng’ alias ‘debat sehat-cerdas bersahabat’ membahas perihal perbedaan paham (soal Trinitas, ke-Allah-an Yesus) yang dipermasalahkan. Dimana saya berpikir bahwa meskipun Unitarian dan Esra Soru sangat beda paham tapi tentu tetap bisa menjadi teman, begitu harapan dan pikiran saya kala itu. Saya berpikir demikian sebab kami memang memiliki beberapa kawan dan keluarga yang beda paham dengan kami tanpa harus bermusuhan. Walau saling memiliki perbedaan doktrin secara intelektual tapi menjadi sahabat secara sosial, itu adalah baik, pikir saya. Ajakan untuk perjumpaan tatap muka / temu darat guna ‘debat terbuka’ pun saya tekankan dalam tanggapan saya menanggapi tulisan Esra tahun 2006 itu dengan mengirimkan tanggapan balik yang intinya berisi ajakan ‘debat temu darat’, dan tulisan saya sempat dimuat oleh Koran Timex pada awal 2007 (di muat 2 hari, 15-16 Januari 2007) yang kemudian ditanggapi lagi oleh Esra dengan tulisan sepanjang 5 seri / hari lagi (Timex 23-27 Januari 2007). Singkat cerita akhirnya TIM TRINITARIAN (yaitu Tim Esra yang dipimpin Pdt. Budi Asali M.Div.) sepakat bertemu dalam ‘debat terbuka’ dengan TIM UNITARIAN (Tim saya) pada bulan Maret 2007 di Surabaya. Tapi ternyata keadaan / suasana perjumpaan dengan Esra tak seperti harapan kami sebagaimana harapannya bisa terciptanya ‘Debat Sehat-Cerdas’ dan bersahabat, mengingat hal tersebut harusnya bisa (dan layak) terjadi mengingat sebab Esra Soru adalah juga rekan (kawan lama) dari Pdt. Teddy (Pdt. Unitarian, mantan Trinitarian, sobatnya Esra), juga debat sehat-cerdas sangat layak dilakukan terlebih adalah nota bene Budi Asali dan Esra Soru adalah bukan ‘preman bayaran’ melainkan keduanya adalah orang-orang tokoh gereja (M. Div. alias master, guru, dan S Th.). Tetapi ternyata kami sungguh sangat terkejut atas fakta yang terjadi kemudian!

Frans Donald Cuma Tertawa dan Termangu.
Awal Maret 2007. Hadirin dari berbagai pihak telah hadir, debat terbuka mulai digelar. Tim Trinitarian menyampaikan mottonya: “Hancurkan ajaran sesat! Hancurkan ajaran sesat!” Di awal perdebatan kami dengan Budi Asali dan Esra Alfred Soru pada bulan Maret 2007 di Surabaya itu, saya sungguh dikejutkan oleh gaya / style / cara penampilan Budi Asali & Esra Soru dalam mengemukakan perbedaan pahamnya terhadap kami. Waktu itu kata-kata dan kalimat-kalimat pedas yang bernada sangat tidak bersahabat (samasekali tidak mencerminkan sikap-sikap kristiani) keluar dari mulut Budi Asali yang padahal adalah bergelar Pendeta dan M. Div. Sangat saya sayangkan, di depan teman-teman Islam yang saat itu banyak hadir, Budi Asali yang nota bene menjabat sebagai tokoh gereja, pendeta-guru-gembala Kristen, benar-benar tampil memalukan ‘dunia Kristen’ yang katanya terkenal dengan ajaran ‘kasih’ itu. Beberapa kawan muslim bahkan sangat terkejut melihat gaya penampilan Budi Asali yang sangat kasar seperti preman dan sangat tidak menghargai iman orang lain dalam suatu suasana yang jelas-jelas pluralis (waktu itu Budi Asali sempat melontarkan kata-kata bahwa “siapa saja yang tidak percaya Trinitas pasti masuk neraka!” Hal itu tentu sangat menghina /tidak menghargai iman kawan-kawan muslim yang jelas-jelas tidak bisa menerima doktrin Trinitas). Melihat gaya mereka yang sangat kasar, kala itu semangat ‘adu argumen intelektual’ saya mendadak hilang seketika, sementara ke 3 kawan saya (anggota Tim Unitarian yang lain, yang sudah lebih berpengalaman dari saya dalam hal pernah dicaci-maki oleh tokoh-tokoh Gereja tertentu) masih berbaik hati mau melayani mereka, sementara saya lebih memilih untuk diam, tersenyum, tertawa saja, sambil geleng-geleng dalam hati keheranan, karena saya pikir waktu itu adalah ternyata kami benar-benar bukan sedang menghadapi kawan-kawan Kristen (apalagi salah satunya adalah jelas-jelas sahabat lama dari Pdt. Teddy) yang berbeda paham yang seyogyanya bisa diajak berdebat yang sehat dan cerdas, melainkan KAMI SEDANG MENGHADAPI ‘MANUSIA SERIGALA BERBULU DOMBA BERWATAK ULAR BELUDAK’!* (*Istilah ‘serigala berbulu domba’ dan ‘ular beludak’ ini saya pinjam dari istilah Alkitab berbicara tentang guru-guru palsu. Dalam hal ini sikap karakter Budi Asali M. Div dan Esra Alfred Soru, S.Th. yang adalah guru dan pendeta sangat sesuai menyandang predikat tersebut). Saya (Frans Donald, jemaat biasa, bukan Sarjana Teologi) bukan ahli bicara yang cukup lihai untuk menghadapi serigala-serigala bertubuh manusia berwatak ular beludak seperti mereka berdua (PENDETA Budi Asali M. Div dan PENGINJIL Esra Alfred Soru, SARJANA TEOLOGI) yang ganas sangat licik berkelit memelintir ayat dan ahli menipu banyak orang dengan ajaran “Yesus Allah sejati”-nya. Saya waktu itu benar-benar kalah, yaitu kalah oleh ke-galak-an dan keganasan dua serigala berwatak ular beludak itu, kalah oleh gaya kekasaran serigala itu, kalah oleh kelicikan ular itu, saya tidak mau melayani gaya ‘serigala berbulu domba berkepala ular beludak’ yang mereka tampilkan. Rekan (Tim saya) yang sudah berpengalaman sebelumnya menghadapi serigala-serigala dan ular-ular dari gereja tertentu, waktu itu mereka bertiga (Aryanto Nugroho, Benny Irawan, Oktino Irawan) mencoba tetap sabar menghadapi dua serigala gereja yang sungguh sangat galak dan licik ini. Saya (yang memang belum terlalu berpengalaman menghadapi serigala-serigala gereja berkepala ular seperti Budi Asali dan muridnya, Esra Alfred Soru) cuma tertawa, tersenyum-senyum, geleng-geleng dalam hati kala itu sambil terus menulis apa-apa yang saya perlu catat dan ingat. Dan oleh karena suasana dalam perdebatan saat itu dipandang sangat tidak baik (sangat tidak sehat) oleh pemimpin (Moderator, yaitu Bapak Drs. H. Sahid, seorang muslim moderat, dosen IAIN), maka debat yang samasekali belum tuntas tersebut terpaksa segera dihentikan.

Debat Berlanjut 8 kali lagi
Setelah perdebatan yang belum tuntas tersebut, meskipun saya merasa bahwa Esra (yang adalah kawan lama dari sahabat saya pendeta Teddy, yang semula saya sangka bahwa Esra bisa jadi kawan saya juga meskipun harus beda paham) ternyata samasekali bukanlah seorang yang bersemangat kristiani, namun, Benny Irawan, sahabat saya (Tim Unitarian), ternyata masih berbaik hati dan bersedia melanjutkan ke pertemuan perdebatan berikutnya. Benny Irawan membuat janji kesepakatan dengan ‘sang Pendeta serigala berbulu domba’ (Budi Asali) untuk lanjut melakukan debat pada bulan-bulan berikutnya. Hingga akhirnya debat (yang dilaksanakan 1 kali dengan moderator dan 7 kali tanpa moderator) itu terjadi. Budi Asali selalu tampil dengan gayanya yang angkuh, pongah, galak khas serigala berbulu domba. Pernah dalam upaya meredakan keganasan Budi Asali, seusai satu sesi debat, saya sempat tegaskan demikian: “Pak Budi, umur anda sepantaran dengan ayah saya, jadi kalau bisa anggaplah saya dan Tim sebagai anak anda, yang artinya walaupun menurut anda kami ini sesat, tetapi hendaklah kita berdialog adu argumen dengan cara yang lebih kekeluargaan dan sehat dan saling menghormati secara intelektual”. Tapi ternyata upaya saya menyentuh hati Budi Asali dengan harapan agar suasana debat bisa lebih sehat tersebut sia-sia tak digubrisnya samasekali, bahkan Budi Asali makin tampil kasar dan sangat jauh dari karakter sebagai seorang Pendeta-gembala-guru Kristiani. Style (gaya, cara-cara) Budi Asali hanyalah menampilkan wajah Pendeta-guru Kristen yang Palsu (benar-benar cocok disebut serigala berbulu domba), hingga saudara Oktino Irawan benar-benar keheranan dengan berkata “Saya betul-betul heran, Frans, kok bisa orang seperti Budi Asali ini jadi Pendeta, aneh!”. Soal kekasaran Budi Asali ini belakangan juga saya dengar dari berbagai sumber bahwa ternyata di kalangan para penganut Trinitas sendiri banyak orang yang sangat tidak senang dengan Budi Asali (tentang hal ini pembaca bisa menyimak kabarnya di internet).
Selanjutnya, dalam perdebatan-perdebatan itu, tampak sekali, tak bisa disembunyikan, Budi Asali kelihatan betul-betul takut kalah* (istilah ‘kalah’ dalam perdebatan, ini saya gunakan dari kata-kata Budi Asali dan Esra Soru sendiri yang suka memakai istilah ‘kalah’. Di sini kata-kata ‘kalah’ yang mereka alamatkan pada Unitarian, terpaksa saya kembalikan kepada mereka berdua secara proporsional), yaitu dengan kelicikannya untuk menghindari ‘kedok terbongkar’, Pendeta Kristen Palsu ini mulai bertingkah makin licik dengan memberi aturan-aturan yang melarang-larang kami (TIM UNITARIAN) agar tidak membagi-bagi makalah-makalah kami kepada para hadirin. Unitarian dilarang bagi-bagi makalah, ini jelas bukti ketakutan dan kecemasan yang nyata! (Tampak sekali dia takut kalau-kalau anak-anak buahnya ada yang terpengaruh oleh pekabaran kami, dan belakangan diketahui bahwa memang benar beberapa di antaranya akhirnya sudah  menjadi penolak paham “Yesus Allah sejati”). Dan makin lama Budi Asali mulai makin banyak mengatur dan melarang-larang kami, padahal status kedua belah pembicara adalah sama haknya, Budi Asali bukan pimpinan kami, jadi tak sepantasnya Budi Asali main mengatur-atur dan melarang-larang kami seenaknya sendiri. Maka akhirnya, setelah perdebatan yang ke 9 kali, karena kami tidak setuju dengan gaya ‘semau gue’ / sok ngatur ‘jangan begini-jangan begitu, tidak boleh begini-tidak boleh begitu’ yang makin gencar dilakukan oleh Budi Asali, maka kami pun memutuskan menghentikan debat tersebut, kendati belum tuntas. Sayangnya,  pasca perdebatan 9 kali tersebut, secara licik Budi Asali dan Esra kemudian memelintir fakta dengan bersaksi bahwa TIM UNITARIAN TELAH KALAH DAN MENYERAH. Bahkan demi upaya menyebar kabar miring tersebut Esra Soru melalui Koran TIMOR EXPRESS mengatakan bahwa “Perdebatan tersebut berlanjut hingga berakhir dengan menyerahnya FD, dkk pada pertemuan ke IX”. Ini adalah suatu pemberitaan yang tidak fair. Begitu pula dengan Tabloid GLORIA yang sempat memberitakan kabar miring tentang perdebatan Unitarian dengan Budi Asali, yang seolah Budi Asali memenangkan debat dan Unitarian kalah. Dalam hal ini Tabloid GLORIA telah memelintir fakta, memberikan informasi miring pada publik demi mengesankan kekalahan Unitarian. Dan ketika pada salah satu sesi debat berikutnya anggota Tim Unitarian menanyakan pada hadirin “siapakah salah satu dari hadirin yang adalah (atau tahu keberadaan) wartawan GLORIA yang telah menulis berita miring tentang Unitarian?”, tak satupun yang berani mengaku.

Jika Unitarian Menghentikan Debat, apakah artinya = Unitarian menyerah?
“Unitarian menyerah di debat yang ke-9”. Pernyataan ini hanyalah tipuan kekanak-kanakkan dari Esra Soru dan gurunya, Budi Asali, untuk menciptakan opini publik yang dianggap akan menguntungkan mereka berdua. Memang orang-orang yang tidak tahu dengan benar kronologi dan alasannya mengapa kami (Unitarian) akhirnya terpaksa memilih menghentikan Debat di Surabaya tahun 2007 itu, bisa saja menyangka bahwa kabar “Unitarian menyerah di debat yang ke-9” seperti yang digembar-gemborkan kubu Budi Asali dan Esra tersebut, sebagai fakta adanya. Nah, tipuan Budi Asali dan Esra Soru dalam kasus ini perlu diklarifikasi.
Mengapa dan apa sih alasan utama kami (Unitarian) terpaksa memilih untuk menghentikan debat? Karena kalah, karena sudah hancur, atau karena apa, tentu yang berhak mengklarifikasi jawabannya adalah dari pihak Unitarian (sebagai Tim / pihak yang berterus terang menghentikan debat) dan bukan dari pihak lain (apalagi kabar miring dari Tim Trinitarian) yang mungkin hanya bisa mereka-reka alasannya saja, tanpa kebenaran fakta yang bisa dipertanggung jawabkan di hadapan manusia dan Allah. Nah, perhatikanlah saudara-saudari sekalian, jawabannya mengapa Tim Unitarian memilih berhenti adalah (tiga alasan utama):
Pertama, karena Budi Asali telah nyata-nyata sudah berlaku sebagai ‘pengecut’ intelektual yang sangat licik dan curang, yaitu dengan berkali-kali mengatur-atur (memerintah dan melarang) kami (Unitarian) untuk tidak membagi-bagikan makalah (tulisan) yang kami buat dalam setiap acara debat. Menggelikan bukan?, adu argumen dalam debat terbuka kok tidak boleh bagi-bagi makalah kepada hadirin, fakta ini hanya makin membuktikan ketakutan (tepatnya kepengecutan) Budi Asali terhadap tulisan-tulisan kami (Unitarian) yang nyata-nyata sanggup mengguncang iman para penganut paham “Yesus Allah sejati”-Trinitas (dan memang terbukti banyak penganut Trinitas yang kini sudah jadi penolak Trinitas atau tidak lagi meyakini Yesus sebagai Allah sejati). Terlebih lagi secara terang-terangan di depan kami Budi Asali menegaskan kalimat-kalimat yang intinya demikian “kalian (Unitarian) jangan bagi-bagi makalah atau tulisan agar jangan sampai di luar sana nama Gereja saya (gerejanya Budi Asali) tercoreng dan disangka menyesatkan orang oleh akibat tulisan-tulisan yang kalian bagikan!”. Oi..oi..oi, pernyataan Budi Asali tersebut hanyalah menunjukkan pernyataan dari seorang PENDETA PENGANUT PAHAM “YESUS ALLAH SEJATI” PALING PENGECUT yang pernah kami hadapi. Apapun dalih atau alasannya untuk menghindari ‘pembagian makalah Unitarian’, Budi Asali kelihatan sekali sangat tidak gentle secara intelektual dan sangat ketakutan terhadap ‘tulisan-tulisan / makalah’ pihak Unitarian. Dalam zaman keterbukaan terhadap informasi seperti sekarang ini, e..e..e, Budi Asali sebagai ‘guru dan pendeta’ kok malahan nekad bertindak sebagai ‘penjahat intelektual’ dengan tegas-tegas mencekal (mencegah, menghalangi, melarang) pembagian informasi (makalah / tulisan) dari pihak Unitarian. Kalau memang Unitarian benar-benar kalah selama perdebatan-perdebatan dengan Budi Asali lantas mengapa makalah / tulisan kami (Unitarian) harus anda ‘cekal’ wahai Budi Asali? Sebagai orang terpelajar (apalagi sampai bergelar M. Div.) semestinya Budi Asali sangat tidak patut melarang-larang beredarnya tulisan / karya-karya yang berisi pandangan-pandangan Unitarian terhadap kesalahan doktrin “Yesus Allah sejati”! Apapun isi tulisan Unitarian tidak perlu disembunyikan apalagi sampai dilarang! Bahkan saya sempat mendapat laporan dari distributor toko buku saya di Surabaya yang menginformasikan kalau pihak toko buku telah mendapat teror intimidasi dari beberapa orang yang mengaku Kristen di Surabaya agar tidak lagi memajang buku-buku Frans Donald dengan alasan buku itu sesat dan penulisnya pernah disidang dalam satu gereja di Surabaya. Entah apakah oknum-oknum yang mengintimidasi toko buku tersebut adalah dari pihak (kroni) Budi Asali dan Esra ataukah dari pihak lainnya yang mungkin juga merasa kebakaran jenggot atas kehadiran buku-buku karya Frans Donald yang telah menelanjangi kerapuhan (bahkan sanggup meruntuhkan) doktrin “Yesus Allah sejati” yang mereka ajarkan selama ini. Siapapun oknum (tukang teror yang mengintimidasi toko buku) itu hanyalah seorang ‘PENGECUT INTELEKTUAL’ yang sama pengecut dan liciknya dengan seorang Budi Asali yang telah juga terang-terangan melarang Unitarian membagi-bagi tulisan / makalah. Kalau memang buku-buku saya dianggap kontroversial atau sesat, maka buatlah saja karya buku tandingannya, bung! Masyarakat kita banyak yang cerdas dan terpelajar, yang tentunya ketika membaca suatu tulisan maka orang-orang yang jujur akan bisa menimbang dengan nurani dan intelektualnya masing-masing mana karya tulisan (buku / makalah) yang berkata benar dan mana yang sesat. Dan juga kalau makalah-makalah Unitarian oleh Budi Asali dianggap sebagai sesat, ya silakan secara intelektual dan gentleman Budi Asali buat tulisan tandingannya juga dong, pak M Div.! Jangan main ‘intimidasi intelektual’ seperti yang telah anda lakukan terhadap kami (Unitarian) yang justru hanya makin membuktikan bobot kerdil intelektual dan kepengecutan, kelicikan dan kecurangan anda wahai Budi Asali!
Kedua, dalam acara debat di Surabaya tahun 2007 itu, sebagai nara sumber, posisi kami (Unitarian) dan Budi Asali adalah sama. Artinya, Budi Asali samasekali bukan pimpinan kami, sehingga sangat tidak proporsional samasekali (sangat memalukan) dan hanya makin menampakkan kepengecutan serta kecurangannya yang nyata-nyata, ketika seorang Budi Asali bertindak melarang-larang Tim Unitarian untuk tidak membagi-bagi makalah atau membagi tulisan apapun kepada hadirin. Kalau saudara Benny dan Oktino berwewenang tegas melarang saya (Frans Donald) agar tidak melayani aturan atau kemauan Esra Soru, maka itu wajar sebab Benny Irawan dan Oktino Irawan memang adalah anggota Tim serta senior (sekaligus guru-guru penolak paham “Yesus Allah sejati”) bagi saya (Frans Donald). Tapi jika seorang Budi Asali  kemudian malah ketakutan dengan tulisan dan makalah-makalah saya, maka ini hanyalah wujud nyata kepengecutan dan kecurangan Budi Asali terhadap suatu acara debat terbuka yang dewasa sehat dan cerdas serta intelektual.
Ketiga, bagaimanapun cara-cara Budi Asali yang selalu tampil emosional, geram, berkata-kata kasar, hingga selalu menciptakan situasi debat yang panas, tidak sehat, argumen-argumen yang sangat tidak intelektual, gaya-gaya kampungan, premanisme, dllnya, maka dengan sangat terpaksa kami (Unitarian) memutuskan untuk menghentikan acara debat dengan pertimbangan agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.
Dari ketiga alasan utama itulah yang akhirnya TERPAKSA membuat kami mengambil keputusan untuk menghentikan debat yang sangat tidak sehat dan penuh kecurangan tersebut. Keputusan berhenti itu benar-benar terpaksa (sesungguhnya kalau bisa kami tidak ingin berhenti samasekali sebelum Budi Asali cs bertobat atau sadar semuanya), sebab pada hakikatnya kami (TIM UNITARIAN: Benny Irawan, Oktino Irawan, Tirto Sujoko dan Frans Donald) adalah orang-orang yang sangat gemar (suka sekali) berdialog atau debat sehat perihal kekeliruan paham doktrin “Yesus Allah sejati”.
Nah, setelah setahun melihat perkembangan pasca debat di Surabaya, kini perlu kami (Unitarian) tegaskan bahwa, kami (Tim Unitarian) berharap untuk suatu saat nanti semoga bisa kembali melanjutkan debat dengan Budi Asali cs namun dengan aturan main yang fair dan sehat, misal beberapa poin yang penting di antaranya: Acara debat mutlak harus pakai Moderator pemimpin acara yang netral / benar-benar moderat (agar Budi Asali tidak sok memimpin dan sembarangan main mengatur-ngatur), suasana santun, dan debat harus benar-benar terbuka secara hadirin maupun terbuka secara intelektual (TIDAK BOLEH MELARANG NARA SUMBER MEMBAGI-BAGI MAKALAH!).
Sebelum saya (Frans Donald) lanjutkan ke pembahasan berikutnya, berikut saya sampaikan pula sedikit tambahan (titipan) info oleh saudara Benny Setia Irawan.
Shaloommmmmmm...
Melalui tulisan ini, saya (Benny Setia Irawan) memberikan tambahan kesaksian mengenai saat-saat terakhir dihentikannya acara debat antara Unitarian dengan Trinitarian tahun 2007 lalu.
Saya, Benny Setia Irawan, adalah salah seorang pembicara Tim Unitarian dalam acara debat antara Unitarian dengan Trinitarian yang diadakan di Jl. Dinoyo, Surabaya, 2007.
Berikut ini sedikit kesaksian saya :
Disepakati bahwa masing-masing diperbolehkan menyampaikan topik yang dikehendaki, kemudian pihak yang lain menanggapinya sampai tuntas. Demikian dilakukan secara bergantian.
Pada suatu pertemuan, Tim Trinitarian mengangkat topik  Ibrani 1, sedangkan Tim Unitarian mengangkat topik : Tidak seorangpun pernah melihat Allah. Saat itu, karena pembahasan dirasa belum tuntas, topik yang sama disepakati untuk dibahas kembali pada pertemuan berikutnya. Dan kenyataannya, pembahasan tentang Ibrani 1 dilakukan setidaknya  2 kali  pertemuan (atau mungkin 3 kali)  berikutnya secara berturut-turut.
Setelah 2 atau 3 pertemuan itu, Tim Unitarian merasa penjelasan yang bisa diberikan mengenai Ibrani 1 sudah tuntas. Saya menyampaikan masalah ini kepada Budi Asali sebagai  pemberitahuan bahwa pada pertemuan berikutnya  kami akan membuka topik “anti trinitas” yang lain. Dalam pembicaraan itu  - yang saya lakukan via sms - saya mempersilakan Tim Trinitarian  membahas kembali Ibrani 1 apabila dirasa belum tuntas. Dengan demikian kesepakatan awal, bahwa “masing-masing bebas memilih topik” tetap terjaga. Tetapi heran, usulan ini ditolak. Sebaliknya, Budi Asali memaksa saya untuk terus membahas Ibrani 1.   Karena khawatir kalau maksud saya ini kurang dimengerti,  saya kembali memberikan penjelasan  bahwa  kami tidak melarang  Tim Trinitarian membahas terus Ibrani 1, dan kami pasti menanggapinya sebagai sanggahan. Sedangkan saat tiba giliran kami menyampaikan materi,  kami akan menyampaikan topik yang lain, karena kurang berguna kalau kami harus mengulang-ulang masalah yang sama. Atas penjelasan ini, Budi Asali tetap tidak bisa menerimanya, dan memaksa kami untuk terus membahas Ibrani 1. Karena saya merasa ada ketidakadilan dalam hal ini, maka akhirnya saya menolak usulan itu.  
Kemudian setelah saya memberikan penjelasan yang sangat jelas mengenai sikap kami untuk mengakhiri acara debat,  Budi Asali mengirimkan pertanyaan kepada saya yang intinya sbb (maaf, detail persisnya saya lupa):  “Apakah berarti anda menghentikan acara debat?”  Sempat saya bertanya dalam hati. “Sudah jelas koq pakai nanya?”  Saya merasa ada maksud tersembunyi di balik pertanyaan ini.  Walaupun demikian, saya menjawab “Ya!” Lantas Budi Asali kemudian menjawab “OK”.  Demikian komunikasi saya dengan Budi Asali berakhir.
Beberapa hari kemudian setelah itu, seseorang mengirimkan sms kepada  rekan Unitarian saya, agar membuka  internet, dengan alamat yang juga ditunjukkan oleh orang itu.. Sms itu disertai ejekan yang ditujukan kepada kami (Tim Unitarian). Selanjutnya oleh rekan Unitarian, sms itu diteruskan ke saya. Ketika saya membuka internet, saya terkejut dengan semua yang saya lihat. Ejekan, celaan ditujukan kepada kami melalui photo ataupun kalimat-kalimat yang tidak pantas. Kecurigaan saya saat ber-sms dengan Budi Asali tampaknya terbukti. Rupanya dia sedang menjebak saya agar saya terbukti membuat pernyataan yang menghentikan acara debat itu.  Mengertilah saya, bahwa bagi Budi Asali dan teman-teman, “Berhenti berarti kalah”. Astaga….
Masalah ini saya ceritakan kepada seorang teman. Teman ini  semula adalah seorang Trinitarian, saling kenal dengan Budi Asali, yang setelah mengikuti  2 (dua) kali acara debat, berangsur-angsur dan akhirnya meninggalkan iman Trinitasnya. Karena merasa memiliki akses terhadap Tim Trinitarian, teman tersebut kemudian menanyakan masalah ini kepada Budi Asali. Berdasarkan pengakuannya, katanya Budi Asali juga tidak setuju dengan dimuatnya berita itu. Tetapi heran, edisi itu tetap ada (bahkan sampai setahun berlalu!).
Demikianlah sedikit kesaksian saya (Benny Setia Irawan) tersebut. 
Masalah ini memang sudah lama berlalu,  dan sayapun tadinya tidak merasa perlu untuk menuliskan kesaksian ini. Tetapi karena kesimpangsiuran dan adanya pembohongan/pemelintiran informasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin menjatuhkan Unitarian, terpaksa kesaksian ini saya tuliskan
Bagi pembaca yang dewasa, tentu akan bisa memahami bahwa:

- Keputusan untuk menghentikan acara debat  bukan berarti kami kalah. Bahkan sesungguhnya kalau mau dihitung menang-kalah, Trinitarian-lah yang layak disebut kalah. (Faktanya jelas tak terbantahkan) bukankah beberapa orang dari pihak Trinitarian akhirnya meninggalkan iman Trinitas-nya?  Tapi sudahlah ! Sesungguhnya, ini bukan masalah kalah atau menang. (Kalaupun akhirnya banyak orang yang meninggalkan Trinitas, itu sebenarnya adalah karena kesadarannya sendiri, bukan hasil karya kami. Kami hanya menabur).
- Kalau bagi mereka (Budi Asali dan Esra) “Berhenti berarti kalah”, bagaimana dengan ide Jawa “Sing waras ngalah!”(yang berpikiran sehat memilih mengalah saja)Tapi sudahlah ! Kita semua tidak boleh takabur !

Esra getol berupaya menyerang pribadi Frans Donald
            Dalam tulisan-tulisan dan opininya Esra kerap kali menyerang Frans Donald secara pribadi (padahal debat di Surabaya 2007 lalu adalah atas nama PANDANGAN TIM TRINITARIAN vs PANDANGAN TIM UNITARIAN, bukan pribadi Esra Soru vs pribadi Frans Donald). Serangan terhadap pribadi saya (Frans Donald) oleh Esra Soru di antaranya:
            Satu hal yang menarik dalam perdebatan perdana (8 Maret 2007) adalah bahwa FD tampil sebagai orang bisu. Ia tak berbicara satu kata pun. Hanya senyum-senyum dan terus menulis. Hingga akhirnya ada interupsi yang datang dari seorang hadirin. “Kita hadir dalam perdebatan ini gara-gara Frans Donald tapi dari tadi kami lihat Frans Donald belum mengeluarkan satu kata pun. Tolong Pak Frans berbicara dulu!” Barulah setelah itu FD memberikan pendapatnya beberapa kalimat dan sampai akhir perdebatan sama sekali tetap membisu hingga membuat saya heran. Mengapa waktu di Timex ia beralasan tidak mau menanggapi semua serangan saya dan ingin bertemu dalam debat terbuka tapi pada saat debat terbuka dilaksanakan ia hanya diam bagaikan patung? Ia hanya bersembunyi di balik ketiak kawan-kawannya.
            Untuk itu perlu sedikit dijawab dan ditegaskan bahwa:
Pertama, ditinjau dari sisi mengapa sampai Frans Donald memilih bersikap diam?; Wahai Esra Alfred Soru SARJANA TEOLOGI, ketahuilah, bahwa oleh karena kau adalah bekas kawan baik dari Pdt. Teddy beserta istri, maka saya (Frans Donald) -setelah membaca tulisan pertama Esra (tulisan di TIMEX tahun 2006, yang sangat pongah dan curang, hingga layak dan cukup beralasan untuk tidak digubris)- kemudian lebih memilih beritikad baik dan merasa perlu dan penting untuk jumpa temu darat dengan Esra untuk ‘debat sehat’ sebagai kawan yang berbeda paham dan bukan sebagai musuh yang musti dihancurkan seperti sesumbar Esra dan gurunya yang ternyata adalah ‘serigala’ itu. Tapi sayang sekali, itikad baik kami ternyata malahan Esra jadikan senjata untuk menyerang Frans Donald secara pribadi. Sadarlah Esra, kalau saya (Frans Donald) kala itu sampai tiba-tiba diam membisu, yang katanya bagaikan patung dan Esra merasa heran, itu justru membuktikan (dan semestinya kau Esra sadar diri, bung!) bahwa sesungguhnya Frans Donald-lah yang saat itu sedang kaget heran atas aksi pongah dan sangat kasar dari orang-orang yang mengaku PENDETA Kristen dan SARJANA TEOLOGI yang tampil bagaikan serigala itu, yaitu kau wahai Esra Soru dan gurumu yang samasekali tidak kristiani dan tidak layak menyandang gelar ‘pendeta’ itu. Lagak dari Esra dan gurunya yang lemah moral itulah yang membuat saya (Frans Donald, jemaat biasa) yang semula menganggap keduanya sebagai kawan bukan musuh (dengan pertimbangan bahwa karena jelas Esra juga kawannya Pdt. Teddy, sahabat saya, maka seyogyanya Esra juga bisa jadi kawan) apalagi Esra jelas-jelas seorang bergelar S. Th. (SARJANA TEOLOGI) yang tentunya gelar ‘sarjana’ yang disandangnya tersebut layak dihormati oleh siapa saja, akhirnya saya malah memilih bersikap diam karena hilang mood setelah melihat gaya-gaya guru-murid itu yang tampak sekali ingin benar-benar menganggap kami sebagai musuh yang harus dihancurkan, dibentak-bentak, dihabisi, dan sebagainya. Dan sadarkah kau wahai Esra Soru SARJANA TEOLOGI, bahwa urusanmu kala itu adalah dengan pandangan UNITARIAN bukan dengan pribadi seorang Frans Donald (walaupun yang secara langsung mengundang Esra hingga debat Tim berlangsung awalnya adalah Frans Donald, tetapi sebagai seorang yang SARJANA yang seharusnya tidak bodoh, tentu Esra pahamlah bahwa yang Esra hadapi adalah PANDANGAN UNITARIAN, dan bukan pribadi Frans Donald, kecuali kalau Esra orang bodoh – tak terpelajar dan bukan SARJANA, bisa dimaklumilah kebodohannya itu). Kalau saja Esra Soru dan Budi Asali bisa tampil wajar (tidak sampai ‘menggonggong-gonggong’ sangat kasar hingga menjadikan suasana debat sangat tidak sehat) maka tentu kita akan terus bisa meneruskan debat yang sehat, walaupun jelas-jelas sangat beda paham tapi mari kita saling jujur tukar data-data dan argumen secara intelektual, dan bukan berteriak-teriak sentimen penuh kegeraman dan kecurangan pemelintiran ayat seperti yang Esra dan Budi Asali tampilkan kala itu hanya demi ‘menang-menangan menguasai panggung’ bergaya dihadapan hadirin, yang akhirnya hanya menghasilkan suasana debat menjadi keruh dan sangat tidak kondusif untuk diteruskan. Andai saja Esra dan Budi Asali bukanlah guru atau pengajar atau gembala atau pendeta dan tokoh gereja yang mengaku Kristen (apalagi bergelar M. Div dan SARJANA TEOLOGI), maka kalaupun terpaksa keduanya tampil seperti ‘serigala berkepala ular beludak’ mungkin masih bisa dimaklumi, tapi sadarkah wahai Budi Asali dan muridnya, Esra Alfred Soru, bahwa gaya aksi anda berdua sangat memalukan bagi dunia gerejawi dan kristiani dan sangat memalukan gelar-gelar yang kalian sandang itu? Sadarlah, bung! 
Kedua, ditinjau dari sisi debat TIM VS TIM; Pernyataan Esra yang menyerang pribadi Frans Donald adalah sangat tidak proporsional dan hanya menunjukkan jiwa kanak-kanak seorang Esra Alfred Soru, sebab DEBAT TRINITARIAN VS UNITARIAN DI SURABAYA ITU ADALAH DEBAT ANTARA PANDANGAN TIM TRINITARIAN VS PANDANGAN TIM UNITARIAN, dan samasekali BUKAN DEBAT PINTAR-PINTARAN BICARA ANTARA PRIBADI SEORANG ESRA ALFRED SORU VS PRIBADI FRANS DONALD. Semua orang yang jujur tentu tahu bahwa dalam suatu perdebatan antar TIM pasti ada juru bicara (bagian bicara), juru tulis (bagian mencatat), bagian memberi pertimbangan atau pikiran tambahan, dsbnya. Dan terus terang memang sudah berkali-kali saya katakan pada beberapa kesempatan bahwa saya (Frans Donald) memang bukanlah seorang ‘pembicara seminar’ yang fasih jika dibandingkan dengan anggota TIM UNITARIAN yang lain (yaitu Benny Irawan, Oktino Irawan, Aryanto Nugroho, Tirto Sujoko, yang ke-4nya adalah senior sekaligus guru-guru bagi saya). Tetapi ketidak fasihan saya (Frans Donald) dalam berbicara dalam seminar tentulah samasekali tidak perlu dipermasalahkan ketika saya tampil bersama TIM saya (yang terdiri dari beberapa rekan saya yang memang lebih fasih, lebih kontruktif, lebih sistematis dalam menyusun kalimat berbicara daripada saya). Artinya, tentu saja UNITARIAN sebagai satu TIM, maka baik anggota TIM TRINITARIAN (Budi Asali, Esra, dkknya.) maupun hadirin siapapun adalah jelas sangat tidak proporsional dan sangat kekanak-kanakkan jika kemudian berupaya menyerang / mempermasalahkan tentang ‘siapa pribadi yang bicara’. Dan ajakan debat secara TIM sudah jauh-jauh hari saya (Frans Donald) sampaikan, sehingga seharusnya Esra Soru paham dan sadar betul bahwa debat di Surabaya adalah musti dipandang secara proporsional sebagai debat TIM TRINITARIAN vs TIM UNITARIAN, dan samasekali bukan debat ‘adu pintar omong’ antara seorang pribadi Esra Alfred Soru VS pribadi Frans Donald. Kalau seandainya saya (Frans Donald) memang mau mengajak adu argumen dengan Esra Soru untuk ‘adu pintar-pintaran omong’ secara pribadi-pribadi, maka tidak mungkin sejak awal saya mencetuskan ide DEBAT TIM sebagaimana yang saya sampaikan di awal undangan debat dengan Esra. Oleh karena itu ketika di perdebatan ke-6 Budi Asali menyampaikan bahwa Esra Soru kembali berupaya menantang Frans Donald untuk secara pribadi (sendiri, tanpa TIM) debat melawan Esra Soru, sebagaimana Esra Soru berkata: saya meminta kepada Pdt. Budi Asali agar menyampaikan dalam forum debat bahwa saya secara pribadi menantang FD dalam debat berikutnya. Maksud saya adalah bahwa dalam debat berikutnya, 1 jam pertama hanya khusus buat saya dan FD. Yang lain tidak boleh ikut ngomong. Biarkan kami berdua saja! Tapi permintaan tersebut ditolak oleh pihak Unitarian dengan alasan bahwa FD tidak pandai bicara tetapi menulis. Aneh memang, waktu debat tertulis ia tidak menanggapi dengan alasan maunya debat langsung. Waktu debat secara langsung, alasannya hanya bisa menulis. Nampak sekali bahwa FD tidak lebih daripada seorang pengecut!!! Hal ini tambah meyakinkan saya karena beberapa hari yang lalu saya menelpon FD dan menantangnya untuk berdebat satu lawan satu di Kupang. Semula ia bersedia tapi meminta saya menanggung seluruh biaya transportasi, akomodasi, konsumsi, dll dari anggota timnya sebanyak 5 orang. Saya menolaknya dan bersedia menanggung keseluruhan biaya untuk 1 orang saja yakni FD tapi FD lalu menolak dengan alasan bahwa bagaimanapun teman-temannya harus ikut. Saya menawarkan lagi, saya menanggung biaya untuk anda, jika teman-teman anda ingin ikut, silahkan tanggung biaya sendiri. Lagi-lagi FD menolak dengan alasan bahwa ia biasa berdebat bersama rekan-rekannya. Saya pun menghentikan pembicaraan tersebut dan yakin bahwa FD sama sekali tidak punya nyali dalam perdebatan langsung satu lawan satu. (Pernyataan Esra tersebut pernah diterbitkan Koran TIMEX).
Untuk itu tanggapan saya adalah: Wahai Esra, saya (Frans Donald) dan TIM tentu tidak bisa anda atur-atur semau otak ular anda. Anda dan Budi Asali sudah seenaknya saja menghina dan menyebarkan kabar bohong tentang kekalahan TIM UNITARIAN kepada orang-orang di NTT, maka dari itu TIM UNITARIAN (seluruh anggotanya) berhak bicara dan temu muka dengan masyarakat NTT dan wawancara dengan wartawan Koran TIMEX (guna meluruskan segala kabar bohong yang berkembang akibat ulah Esra di NTT selama ini) jika kubu Esra memang serius mau menggelar debat di NTT. Dan perlu Esra Soru ketahui, bahwa saya (Frans Donald) akan sangat bersemangat dan SANGAT PUNYA NYALI (WALAUPUN BUKAN LULUSAN SEKOLAH TEOLOGI dan tidak fasih / mahir bicara), sekali lagi, SANGAT PUNYA NYALI SIAP melayani orang (SARJANA atau PROFESOR teologi sekalipun) untuk berdialog atau ‘debat sehat’ soal kekeliruan paham “Yesus Allah sejati”, tapi, jika kemudian saya mengetahui dengan betul bahwa orang tersebut adalah bukan bersemangat debat untuk adu argumen / saling tukar data guna mencari kebenaran, melainkan hanya untuk ambisi menang-menangan dengan menghalalkan segala cara (seperti cara-cara curang dan gaya-gaya ‘serigala’ yang sudah Esra dan Budi Asali lakukan dan tampilkan selama ini), maka jangan harap saya mau ikut aturan main anda, bung! Apalagi Esra Soru kentara sekali ingin menyerang Frans Donald secara pribadi, ini jelas-jelas mental kerdil yang tidak perlu dilayani sebab hanya akan menghasilkan sentimen-sentimen pribadi belaka! Dan rekan TIM saya, Oktino Irawan, kala itu juga langsung berkata kepada saya: “Jangan mau Frans, sebab Esra jelas mau menyerang Frans secara pribadi karena kelihatan sekali ada sentimen pribadi dan bukan secara TIM, padahal inti debat adalah PANDANGAN TIM TRINITARIAN VS PANDANGAN TIM UNITARIAN dan bukan debat pribadi lawan pribadi, ajakan Esra sangat tidak sehat, kekanak-kanakkan, jadi tidak perlu dilayani, Frans”.
Kalau Esra (yang adalah seorang SARJANA TEOLOGI) kemudian menyebut Frans Donald (yang adalah jemaat biasa dan BUKAN SARJANA) sebagai ‘pengecut’ hanya karena Frans Donald tidak mau melayani ‘permainan dan aturan panggungnya’, maka tuduhan Esra itu hanya makin menampilkan jiwa kekanak-kanakkannya dan tuduhan yang sangat tidak proporsional dari seorang SARJANA TEOLOGI yang ditujukan kepada seorang BUKAN SARJANA (yaitu Frans Donald). Wahai Esra, ketahuilah dengan seksama, bahwa saya (Frans Donald) samasekali TIDAK ADA RASA TAKUT KALAH seperti perkiraan dan tuduhan anda yang picik, sebab perdebatan soal Trinitas bagi Frans Donald adalah bukan untuk soal menang-menangan, tapi untuk mencari kebenaran Alkitab dan kejujuran! Dan juga ketahuilah wahai Esra Alfred Soru, bahwa, jika andai oleh orang-orang (termasuk oleh anda Esra Soru atau Budi Asali) Frans Donald akhirnya dianggap kalah debat dengan Esra Alfred Soru yang bergelar SARJANA TEOLOGI, maka “kekalahan” itu (andaikan memang anggap saja terjadi) jelas sangat-sangat wajar dan samasekali tidak memalukan (malahan bisa jadi membanggakan) bagi seorang Frans Donald yang adalah orang biasa dan samasekali BUKAN SARJANA TEOLOGI yang berbeda halnya dengan Esra Alfred Soru yang “S. Th.” ataupun Pdt. Budi Asali yang “M. Div.” Tetapi kalau sampai Esra Alfred Soru SARJANA TEOLOGI dan PENDETA Budi Asali M Div. yang telah terbukti sudah jelas-jelas “kebakaran jenggot” atas buku-buku tulisan seorang Frans Donald (yang adalah orang biasa saja dan BUKAN LULUSAN SEKOLAH TEOLOGI), maka fakta ini telah amat sangat menampar, memerahkan muka dan memalukan, menelanjangi doktrin / ajaran yang anda berdua sebarkan selama ini. Sadarkah anda berdua wahai “pakar-pakar” pengajar doktrin “tiga pribadi Allah”? Sebegitu luarbiasanyakah tulisan-tulisan seorang Frans Donald, hingga selama bertahun-tahun yang namanya Esra Alfred Soru SARJANA TEOLOGI itu sampai terus-terusan “suka, keranjingan, laksana tergila-gila setengah mati” tak jemu-jemu mengomentari tulisan-tulisannya???
Saya sempat berpikir. Entah mengapa Esra Soru (seorang SARJANA TEOLOGI) begitu kelihatan geram dengan Frans Donald (yang hanyalah ORANG BIASA, BUKAN SARJANA), ada apa gerangan? Ah .. entahlah! Niat baik Frans Donald mengajak Esra Soru bertemu TIM Unitarian untuk debat sehat dengan pertimbangan bahwa Esra Soru adalah kawan baik dari Pendeta Teddy S. Th. dan Ibu Teddy (yang adalah sahabat Frans Donald dan keduanya Unitarian juga, yang mana Pdt Teddy beserta istri sudah lebih dahulu menjadi seorang Unitarian sebelum saya) ternyata pertimbangan tersebut tidak disambut dengan cara kristiani melainkan justru disambut dengan geram dan kesumat pribadi oleh Esra si SARJANA TEOLOGI yang kerap mengaku pakar iman Kristen dan suka menggurui orang melalui siaran Radio RRI di NTT dan mengaku sebagai gembala itu.
            Perlu disampaikan pula bahwa seusai debat di Surabaya itu beberapa kali Esra Soru kembali mengajak Frans Donald untuk debat via Koran TIMOR EXPRESS di NTT. Entah apa maksud Esra Soru kembali mengajak debat Frans Donald melalui koran harian yang dibaca oleh masyarakat NTT, padahal bukankah menurut Esra Soru sendiri telah tegas seolah yakin sekali mengungkapkan (berkoar-koar) bahwa: Frans Donald dan Tim Unitarian sudah kalah telak, babak belur, kebingungan, hancur-hancuran, bahkan dalam websitenya mereka dengan bangga menyebut diri Pdt. Esra Alfred Soru dan Pdt. Budi Asali sebagai ‘The Winning Team’. Lha kalau sudah merasa yakin (berani sesumbar, berkoar-koar, mengaku-ngaku) sebagai ‘The Winning’ (=Pemenang) kok malahan mau ngajak debat lagi pak Esra Alfred Soru? Ketahuilah bahwa orang-orang yang jujur (bukan kroni-kroninya Budi Asali dan Esra Soru yang tukang dusta) tentu akan tahu betul bahwa tantangan Esra Alfred Soru (yang bergelar SARJANA TEOLOGI) untuk debat di Koran adalah SANGAT JELAS MEMBUKTIKAN BAHWA TIM TRINITARIAN (yang telah terbukti nyata orientasinya dalam berdebat hanya demi menang-menangan secara pribadi semata) SEBENARNYA TELAH SADAR AKAN KEKALAHANNYA TERDAHULU SEHINGGA KINI MENGAJAK DEBAT LAGI DEMI AMBISI MERAIH KHAYALAN KEMENANGAN YANG DIIMPI-IMPIKANNYA SELALU BAGAI MIMPI DI SIANG BOLONG!
Tetapi beberapa bulan lalu ajakan Esra Soru untuk debat dengan Frans Donald melalui Koran TIMOR EXPRESS kala itu tidak digubris (tak dilayani kemauannya) oleh Frans Donald sebab sudah sangat terbukti banyak sekali pernyataan-pernyataan UNITARIAN yang dipelintir, dikorupsi, oleh Esra Soru dan gurunya (Budi Asali), maka Frans Donald hanya buang-buang waktu saja jika terus-menerus menanggapi ‘serigala-serigala berkepala ular’ yang jelas-jelas hanyalah SARJANA TEOLOGI TUKANG PELINTIR itu. Bahkan beberapa pembaca TIMOR EXPRESS (orang-orang di NTT) yang membaca tulisan Esra Soru segera menghubungi saya (Frans Donald) dan mengatakan tidak perlu Frans Donald aktif (selalu) menanggapi setiap tulisan-tulisan Esra Alfred Soru sebab tulisan Esra sangat penuh dengan pemelintiran, curang, licik dan ketidak jujuran intelektual. Seseorang berkata “Saudara Frans, Esra dan Budi Asali itu pendeta tetapi mereka sangat licik dan curang!”, ada orang yang lain berkata pula “Pak Frans, biarlah seperti peribahasa “anjing menggonggong, sementara kafilah (Frans Donald dan TIM UNITARIAN) terus berlalu”. Begitulah contoh orang-orang yang pernah berkata kepada saya tentang dua serigala berbulu domba itu.

Hasil Debat
Setelah sekian lama mengenal gaya (style) aksi Budi Asali M.Div dan Esra Alfred Soru SARJANA TEOLOGI, kami menjadi tahu bahwa ke dua tokoh gereja ‘kristen-kristenan’ (=bukan kristiani sejati) ini adalah ahli / jago pelintir ayat dan fakta, dan samasekali bukan orang yang jujur dan tulus, maka setelah akhir perdebatan pun kami (Unitarian) akhirnya semakin tahu betul bahwa kedua orang, pendeta dan penginjil ini benar-benar samasekali bukanlah orang gereja yang tulus dan jujur adanya. Budi Asali ternyata samasekali bukanlah seorang berbudi yang asali (seseorang pernah bertanya: apakah mungkin berbudi asal-asalan? Entahlah!). Gelar ‘Pendeta’, ‘pengajar’, ‘pengkotbah’ yang Budi Asali kenakan hanyalah bulu domba dari jiwanya yang adalah serigala licik. Tujuan mereka berdebat terkuak sudah, samasekali bukan untuk mencari kebenaran tapi hanya berambisi ingin menjatuhkan dan mempermalukan lawan demi keegoisan ambisinya sendiri. Suatu kenyataan terhadap Budi Asali dan Esra Soru jelas tersingkap sudah, hati mereka ternyata BUSUK BAGAIKAN KUBURAN DILABUR PUTIH dan mental mereka hanyalah MENTAL KERDIL YANG LICIK. Hal tersebut terbukti nyata sekali, yaitu: Seusai perdebatan yang panjang dan belum tuntas itu, Budi Asali cs akhirnya makin mengejek-ejek, menghina, berupaya ingin mempermalukan kami (TIM UNITARIAN) dengan jurus “ANAK KECIL YANG MERASA PUAS BERHASIL MENIPU TEMANNYA” yaitu yang mereka lakukan adalah memajang / mempublikasikan foto-foto kami (Frans Donald, Benny Irawan dan Oktino Irawan) di internet (di blog websitenya, www.pelangikasihministry.blogspot.com dan webblog Trinitarian lainnya dengan ditulisi komentar-komentar yang berisi ejekan dan hinaan dengan tujuan hanya untuk mempermalukan / mengejek-ejek Unitarian, yaitu di antaranya:
“Beginilah ekspresi wajah-wajah Tim UNITARIAN (dari atas ke bawah: Benny, Oktino, Frans Donald) ketika hancur-hancuran dalam menjawab serangan bertubi-tubi dari Tim TRINITARIAN.
(Foto) Benny... menutup mata kebingungan mencari jawaban terhadap serangan bertubi-tubi Trinitarian.;
 (Foto) Oktino.. hancur-hancuran dalam menjawab serangan bertubi-tubi Trinitarian sambil mengangkat kedua tangannya. ;
(Foto) Sementara kedua rekan disebelahnya menjelaskan dengan mulut "berbusa-busa", Frans Donald bergaya santai dan tebar senyum PEPSODENT.
THE WINNING TEAM Pdt. Budi Asali & Pdt. Esra Alfred Soru.”

He..he..he… saya (Frans Donald) beserta TIM dan kawan-kawan lainnya hanya tertawa geli sekali melihat semua polah tingkah ANAK-ANAK KECIL YANG LICIK DAN BERJUBAH PEMIMPIN GEREJA itu. Pernyataan ejekan-ejekan tersebut makin membuktikan tampak sekali Budi Asali yang bergelar PENDETA, M. Div. dan Esra yang SARJANA TEOLOGI rupanya sudah sangat frustasi- stres berat dan kehabisan akal liciknya, oleh karena dusta-dusta ajaran kedua pendeta itu makin terbongkar selama 9 kali debat dengan kami, dan fatalnya yang telah berhasil membongkar dusta-dusta doktrin “tiga pribadi Allah” yang mereka berdua ajarkan ternyata hanyalah orang-orang yang samasekali bukan lulusan sekolah teologi (yaitu Frans Donald, Benny Irawan, Oktino Irawan dan Tirto Sujoko, yang ke-4nya hanyalah jemaat biasa saja, yang mempelajari Alkitab secara otodidak dari ajaran Yesus serta para rasul yang bertaburan dalam Alkitab yang samasekali tidak pernah mengaku bahwa dirinya [Yesus] adalah Allah sejati!). Dikalahkan oleh “orang biasa” membuat mereka berdua menjadi sangat frustasi, panas dan ‘kebakaran jenggot’ hingga terpaksa tanpa mereka sadari justru tingkah polah mereka guna mengejek-ejek TIM UNITARIAN akhirnya justru membuka aibnya sendiri dengan berlaku sangat kekanak-kanakan, memalukan dan menjatuhkan harga dirinya sendiri persis ANAK KECIL YANG PUAS BERHASIL MENIPU TEMAN-TEMANNYA. 
Hingga kini Budi Asali dan Esra cs mungkin masih bisa saja main kibul berdalih dan berkoar-koar kesana-kemari di komunitasnya sendiri bahwa TIM UNITARIAN sudah dikalahkannya, persis komentar ANAK KECIL YANG EMOSI DAN BERUSAHA MEMBELA HARGA DIRINYA YANG SUDAH HANCUR BERKEPING-KEPING,  “Heee Unitarian kalah, kalah, kalah, kalah, kalah …” begitu mungkin kira-kira gambaran sesumbar mereka, sambil Esra Soru tertawa lebar dan dengan bangga berkata “Benny kebingungan …, Oktino hancur-hancuran, mulutnya berbusa-busa …”, tapi,  Budi Asali dan Esra lupa, padahal, kalau saja mau dengan jujur dan tulus coba mengukur hasil “menang-kalah”-nya perdebatan tersebut berdasar fakta-fakta selama setahun ini, maka jelas-jelas TIM BUDI ASALI (Trinitarian)-lah yang sesungguhnya telah KALAH TELAK dengan kenyataan yang sangat menampar dan memerahkan mukanya, yaitu terbukti nyata bahwa beberapa hadirin dari pihak Trinitarian yang CUMA BEBERAPA KALI SAJA (tidak lebih dari 5 kali!) hadir di acara debat tersebut akhirnya telah dengan sangat yakin memutuskan meninggalkan doktrin Trinitas ajaran Budi Asali dan Esra Alfred Soru, dan kemudian MENJADI sepaham dengan UNITARIAN alias jadi orang-orang yang MENOLAK KE-ALLAH-AN YESUS, dan sebaliknya tak seorang pun kawan-kawan kami (kaum Unitarian) yang terpengaruh sedikit pun oleh argumen-argumen Trinitarian yang ternyata terbukti sangat rapuh (yang hanya menang kasar / ngototnya dan ahli pelintirnya) disajikan oleh Pdt. Budi Asali M. Div dan Esra Alfred Soru S.Th. Bahkan dengan adanya perdebatan di Surabaya itu iman kaum Unitarian makin kokoh, serta makin banyak di berbagai daerah dari Sabang sampai Merauke, pendeta-pendeta, teolog-teolog, tokoh-tokoh gereja, jemaat-jemaat, dan segala macam orang-orang Kristen maupun Katolik yang tadinya menganut paham “Yesus Allah sejati” kini telah menyatakan diri sebagai sepaham dengan Unitarian alias tegas menolak doktrin Trinitas yang mengajarkan Yesus sebagai Allah Sejati!
Perlu pula saya (Frans Donald) informasikan bahwa andai saja kini Budi Asali dan Esra Alfred Soru masih saja berani berkoar-koar sesumbar bahwa Unitarian telah kalah, maka silahkan suruh mereka berdua menulis tanggapan yang akurat-Alkitabiah (DAN JANGAN PAKAI JURUS MEMELINTIR AYAT!) terhadap buku kami yang judul “MENJAWAB DOKTRIN TRITUNGGAL” yang sejak terbit Agustus 2007 hingga saat ini (sudah cetak ulang 5 kali) belum ada satu-pun orang penganut paham “Yesus Allah sejati” yang SECARA JUJUR DAN ALKITABIAH bisa membuktikan bahwa argumen-argumen kami (Unitarian) dalam buku tersebut bisa dipatahkan (digugurkan), sebaliknya malahan makin banyak penganut paham “Yesus Allah sejati” yang sudah beralih tegas menolak ke-allah-an Yesus!
Sekali lagi kami tegaskan, Wahai Esra Alfred Soru SARJANA TEOLOGI dan gurunya, PENDETA Budi Asali yang bergelar M. Div., kalau anda-anda berani berkoar-koar bahwa argumen-argumen UNITARIAN sudah dihancur leburkan oleh anda berdua, silahkan tanggapi dengan bikin buku tertulis sebagai tanggapan terhadap buku kami yang berjudul MENJAWAB DOKTRIN TRITUNGGAL, silahkan buktikan, argumen-argumen UNITARIAN yang mana yang sudah anda hancurkan? Bukankah justru buku MENJAWAB DOKTRIN TRITUNGGAL tersebut justru di dalamnya banyak menghancur leburkan doktrin ajaran kalian? Ambil contoh soal Yohanes 1:1, sudah kami kupas dan patahkan teori Trinitarian melalui buku tersebut mulai halaman 1 – 14; Juga misal, dalam buku MENJAWAB DOKTRIN TRITUNGGAL  halaman 86-90 kami telah buktikan bahwa argumen Trinitarian (=argumen Budi Asali) yang kekeuh nekad mengklaim bahwa ‘Yesus telah bangkit dari mati atas kuasanya sendiri’, teori itu sudah kami buktikan sebagai ajaran yang sangat mengada-ada! Dan masih banyak lagi teori bualan penganut Trinitarian yang kami buktikan salah doktrin adanya. Lantas argumen-argumen UNITARIAN yang mana yang katanya sudah anda hancurkan???!!! Kami tunggu buku anda! Dan jika buku ‘Tanggapan atas buku MENJAWAB DOKTRIN TRITUNGGAL’ karya anda berdua itu sudah jadi atau terbit, saya (Frans Donald) siap membantu memberikan jalur distribusi buku karya anda berdua  (yang berisi tanggapan atas buku MENJAWAB DOKTRIN TRITUNGGAL) tersebut untuk disebarkan ke toko-toko buku besar di seluruh Indonesia agar masyarakat publik seluruh Indonesia bisa tahu dan membaca buku tanggapan anda berdua terhadap buku MENJAWAB DOKTRIN TRITUNGGAL yang berisi argumen-argumen Unitarian itu, hingga akhirnya masyarakat luas (seluruh Indonesia) bisa menyimpulkan sendiri siapakah yang benar-benar Alkitabiah sesungguhnya dalam hal memahami sosok Yesus, apakah yang Alkitabiah adalah Yesus yang dipahami Unitarian ataukah Yesus versi Trinitarian yang diklaim sebagai pribadi Allah sejati adanya?. Dan saran saya (jika andaikan saja memang ada keinginan buku karya anda tersebut nantinya bisa diterima oleh toko-toko buku) maka anda berdua tidak perlu memakai kebiasaan gaya kebanggaan anda (terutama Budi Asali) yang suka mengklaim orang lain sebagai ‘goblok’, ‘tolol’, ‘gila’, ‘ngawur’, dsbnya (seperti kebiasaan Budi Asali selama ini), karena jika kata-kata semacam itu terus anda lontarkan di tulisan-tulisan dan atau di kesempatan mana pun, maka banyak orang akan semakin cepat menyadari bahwa sebenarnya anda berdua-lah yang sesungguhnya mencerminkan pernyataan anda sendiri tersebut. Sadarilah dan ingatlah wahai Budi Asali dan Esra Alfred Soru, anda berdua masih berstatus sebagai guru agama. Guru agama adalah juga identik dengan guru akhlak dan moral. Ada peribahasa, “jika guru kencing berdiri maka murid kencing berlari”, artinya dalam hal ini jika guru-guru agama (pendeta, pengajar, gembala, SARJANA TEOLOGI, M. Div.) suka kencing berdiri (tidak menjadi tauladan moral kristiani) maka kelak murid-muridmu, jemaatmu, anggota gerejamu, dan semua pengikutmu serta anak didikmu akan menjadi manusia-manusia yang gemar kencing berlari (menjadi lebih tak bermoral dari padamu!, hal itu sudah terbukti dari beberapa orang -yang mengaku sebagai pengikut Budi Asali- telah memberikan makian, hujatan, kata-kata umpatan kotor [menyebut nama binatang dan alat kelamin] yang di alamatkan pada Unitarian). Renungkanlah!
Sebagai tambahan info bagi segenap pembaca, beberapa kali Esra Soru telah mencoba memberikan pernyataan melalui TIMEX yang intinya selalu mengatakan bahwa “Unitarian tidak bisa menjawab argumen-argumen Trinitas” atau “semua argumen Unitarian sudah dihancurleburkan” atau apa saja pernyataan lain yang serupa dengan itu, nah, bagi pembaca yang ingin tahu apakah Unitarian memang sungguh-sungguh tidak bisa menjawab (seperti diklaim oleh Esra Alfred Soru)? Mau tahu jawabannya? Kalau saya (Frans Donald) selama ini memang sengaja seolah berdiam diri atau BELUM berkenan menjawab satu-persatu pernyataan pribadi Esra Soru yang kerap dipublikasikan via koran TIMEX, hal itu tidaklah tepat jika disimpulkan bahwa Unitarian tidak bisa jawab / tidak mampu menjawab / tidak dapat menjawab. Unitarian sungguh bisa atau mampu menjawab argumen-argumen orang-orang yang mengklaim Yesus sebagai Allah sejati. Bagi orang yang sungguh-sungguh serius mau tahu jawaban-jawaban Unitarian tentang doktrin Trinitas perihal ke-allah-an Yesus, silahkan simak buku kami yang berjudul MENJAWAB DOKTRIN TRITUNGGAL (Pen. Frans Donald), juga buku BUKAN ALLAH TAPI TUHAN (Pen. Ellen Kristi) yang keduanya bisa didapatkan di toko-toko buku atau pesan langsung ke saya (SMS saja 081 7971 9991) dan ada juga buku dahsyat berjudul POLEMIK ANTARA A.G. HADZARMAWIT NETTI DENGAN Pdt. BUDI ASALI, M.Div.& ESRA ALFRED SORU. Dan bagi jiwa-jiwa perindu kebenaran yang tulus, berhati murni, jujur, cinta Yesus dan takut akan Allah, bersiap-sedialah, bahwa dengan menyimak buku-buku tersebut, iman Trinitas/‘tiga pribadi Allah’ (keyakinan bahwa Yesus = Allah sejati) anda akan terguncang, bahkan bisa-bisa runtuh! Itulah jawaban kami yang sudah kami abadikan dalam bentuk buku dan bisa dibaca oleh seluruh masyarakat Indonesia.

KERAP SALAH PAHAM DAN BERKESIMPULAN PREMATUR
            Dalam beberapa kesempatan di acara debat di Surabaya dulu, selain sering salah paham terhadap argumen-argumen yang kami sampaikan kala itu, Budi Asali cs juga kerap salah paham (salah arti, salah tangkap, salah sangka) terhadap arti dari “wajah-wajah Tim Unitarian” saat merespon komentar-komentar Budi Asali dan Esra kala itu. Waktu itu, seringkali saya (Frans Donald) dan Benny Irawan dan Oktino Irawan dalam hampir setiap sesi debat, kami bertiga sering, wajah dan mata kami, saling bertatapan satu sama lain dengan ekspresi ‘mimik wajah keheranan’ sesudah Budi Asali berbicara sesuatu hal yang kami anggap konyol. Tapi sayang sekali, ekspresi muka ‘mimik wajah keheranan’ karena mendengar argumen konyol Budi Asali itu ternyata sering oleh Budi Asali cs diartikan sebagai “tuh lihat, Frans Donald – Benny dan Oktino saling bertatapan kebingungan tidak bisa jawab argumen Budi Asali …”. Misalnya, ketika pada suatu kesempatan Budi Asali ngotot berargumen bahwa “Yesus bangkit dari kematian atas kuasanya sendiri” tanpa dasar ayat Alkitab yang bisa dipertanggung jawabkannya, maka saat itu dalam rangka merespon argumen konyol dari Budi Asali tersebut kami (Tim Unitarian, bertiga) spontan saling bertatapan wajah kami. Nah, rupanya, karena sudah sejak awal selalu berotak ular, Budi Asali dan muridnya mengklaim kejadian tersebut sebagai “tuh, lihat Tim Unitarian kebingungan tidak bisa jawab”. Kejadian “respon ekspresi wajah keheranan Unitarian akan ke-konyol-an argumen Budi Asali” itu oleh kubu Trinitarian ditafsirkan (dipelintir) sebagai “Unitarian tidak bisa jawab”, padahal kala itu kami (Tim Unitarian) saling keheranan dan saling bertatapan muka adalah samasekali bukan karena tidak bisa jawab, melainkan karena kami sangat geli dan heran betapa ngawurnya argumen-argumen Trinitarian kala itu. Artinya, ekspresi wajah kami saling bertatapan antar anggota Tim itu sebenarnya bermakna sebagai: “O la la, amboi, alamak, alangkah bodoh dan ngawurnya pendeta yang sedang kami hadapi ini”. Tapi, sungguh kasihan sekali, mereka telah salah paham (salah arti, salah tangkap, salah sangka) tetapi keblinger menjadi besar kepala.
            Tulisan-tulisan Esra yang terakhir saya baca melalui WEBSITE TIMEX tanggal 9, 10, 12 Desember 2008* (*yang tgl 11 Des tidak bisa saya buka). Esra menulis dalam rangka mengomentari tulisan saya yang saya tujukan untuk Anton Bele. Esra menuduh Frans Donald sebagai “curang, menipu, menyesatkan, memanipulasi, licik, penuh kebohongan, memalsukan, memfitnah, dll.” Nah, tulisan Esra tersebut perlu pula saya klarifikasi. Setelah membaca komentar-komentar Esra tersebut, saya mendapati mengapa Esra bisa sampai pada kesimpulan bahwa Frans Donald menipu, bohong dsbnya itu semua adalah karena ternyata Esra Soru telah jelas-jelas salah paham (salah tangkap, salah analisa, berkesimpulan premature, lemah nalar) terhadap maksud tulisan yang saya tulis kala menanggapi tulisan Anton Bele yang dimuat Timex pada 31 Oktober dan 1 Nopember 2008 lalu. Perkiraan saya, mengapa Esra bisa salah tangkap adalah karena SARJANA TEOLOGI satu ini kelihatannya sudah terlanjur berasumsi (berpikir) sangat negatif pada Frans Donald hingga setiap tulisan Frans Donald selalu dianggap sebagai “tipuan-kebohongan-fitnah dsbnya”. Ijinkanlah saya mengklarifikasinya dengan beberapa contoh dari analisa Esra yang disalah pahami bahkan disimpulkan semaunya sendiri oleh Esra yang kemudian dilanjutkan pula dengan tuduhan-tuduhan dan penghakiman a la Esra Alfred Soru SARJANA TEOLOGI.
            Misalnya, kelemahan analisa dan ke-semau-annya sendiri tampak sekali dari diri Esra ketika menanggapi buku saya yang berjudul “ALLAH DALAM ALKITAB DAN AL QURAN Sesembahan Yang Sama Atau Berbeda?”. Esra mengatakan bahwa Frans Donald tidak konsisten dalam hal ‘sola scriptura’ (menafsirkan Alkitab dengan Alkitab saja). Salah satunya Esra berkata: “…nampak sekali inkonsistensi dari Frans Donald. Bagaimana mungkin ia mempercayai doktrin ‘Sola Scriptura’ (Hanya Alkitab saja) di satu sisi dan di sisi yang lain menjadikan Alkitab dan Al-Quran sebagai fondasi kajian? Bagaimana mungkin ia membaca Alkitab dengan metode Sola Scriptura sambil melibatkan Al-Quran sebagai dasar tulisannya”. Untuk itu tanggapan saya (Frans Donald) adalah, sesungguhnya banyak sekali pembaca buku saya yang berjudul ALLAH DALAM ALKITAB DAN AL QURAN tersebut yang samasekali tidak mempermasalahkan metode atau cara ‘sola scriptura’ (menafsirkan Alkitab dengan Alkitab saja) dan ‘Al Quran bi Al Quran’ (menafsirkan Al Quran dengan ayat Al Quran juga) yang saya kemukakan. Orang (pembaca buku tersebut) yang ‘berakal intelektual sehat’ jelas tidak perlu mempermasalahkan samasekali, sebab mereka (pembaca yang cerdas) umumnya tidak ‘lemah analisa’ sehingga tahu betul bahwa yang dimaksud oleh Frans Donald sebagai ‘sola scriptura’ ya betul-betul ‘sola scriptura’, yang artinya dalam konteks Frans Donald berupaya menafsirkan suatu ayat Alkitab maka yang digunakan sebagai perbandingan kajiannya ya ayat-ayat Alkitab juga. Sedangkan penggunaan metode Al Quran bi Al Quran dalam konteks ketika Frans Donald mau menafsirkan suatu ayat Al Quran maka yang digunakan ya juga ayat Al Quran pula. Jadi di sini jelas kontekstual sekali. Dan mengapa di buku ALLAH DALAM ALKITAB DAN AL QURAN Frans Donald kok musti memakai ayat Alkitab dan juga ayat Al Quran dalam membahas tentang Allah? Ya tentu saja sebab judulnya saja “ALLAH DALAM ALKITAB DAN ALQURAN”. Sebagai seorang SARJANA (yang seharusnya tidak lemah analisa) seharusnya Esra tidak perlu bertanya pertanyaan konyol “Bagaimana mungkin ia (Frans Donald) mempercayai doktrin ‘Sola Scriptura’ (Hanya Alkitab saja) di satu sisi dan di sisi yang lain menjadikan Alkitab dan Al-Quran sebagai fondasi kajian?”. Pertanyaan Esra ini hanya makin menunjukkan kelemahan pemahaman seorang Esra terhadap sebuah teks atau kalimat. Mengapa lemah? Bukankah dari judul bukunya saja seharusnya Esra sudah tahu bahwa adalah sudah pasti “ALLAH DALAM ALKITAB DAN ALQURAN - Sesembahan yang sama atau berbeda?” sebagai buku perbandingan agama, tentu dan pasti menjadikan Alkitab dan Al-Quran sebagai fondasi kajian sebab judulnya saja ada kata ‘Alkitab’ dan kata ‘AlQuran’. Sudah pasti kajiannya Alkitab dan Al Quran dan tidak perlu lagi bertanya ‘bagaimana mungkin’ seperti pertanyaan Esra yang aneh itu. Esra bertanya ‘bagaimana mungkin’ adalah bukti nyata bahwa Esra memang tidak paham arti ‘Sola Scriptura’ dan ‘AlQuran bi AlQuran’ dalam kontekstual yang saya sampaikan dalam buku yang hingga kini telah mengalami cetak ulang 13 kali dan tersebar keseluruh Indonesia itu, tapi sayangnya Esra seolah sudah merasa paling pintar dan keburu menghakimi Frans Donald sebagai bodoh, penipu ulung, penyesat dsbnya. Ketahuilah wahai Esra SARJANA TEOLOGI, bahwa konteks metode ‘sola scriptura’ artinya adalah saat menafsirkan ayat Alkitab adalah dengan ayat Alkitab pula, dan konteks metode ‘Al Quran bi Al Quran’ artinya adalah saat menafsirkan ayat AlQuran adalah dengan ayat AlQuran pula, nah setelah tafsiran dari masing-masing kitab sudah didapatkan, barulah diperbandingkan tafsiran dari kedua kitab tersebut, apakah ALLAH DALAM ALKITAB DAN AL QURAN adalah SESEMBAHAN YANG SAMA ATAU BERBEDA. Saudara-saudari, apakah untuk hal sesederhana ini saja saya harus menjelaskan pada seorang SARJANA TEOLOGI seperti menjelaskan pada anak yang duduk di bangku SEKOLAH DASAR? Baiklah, saya sedikit berikan contoh sederhananya: ketika saya (Frans Donald) mengkaji “Allah dalam Alkitab” maka saya melakukan metode (cara) ‘sola scriptura’, yaitu “apa yang Alkitab sendiri katakan tentang Allah dalam Alkitab tersebut”, misalnya di ayat Kisah Rasul 3:13 serta ayat-ayat di Perjanjian Lama banyak ada tertulis bahwa Allah yang dikabarkan oleh Alkitab adalah Allahnya Abraham, Ishak dan Yakub. Jadi di sini artinya setelah melakukan metode ‘sola scriptura’ saya mendapati kesimpulan bahwa Allah dalam Alkitab adalah Allahnya Abraham, Ishak dan Yakub [Allahnya Israel]. Kemudian pada saat saya mengkaji siapakah “Allah dalam Al Quran”, nah ini adalah saat dimana saya menggunakan metode (cara) kajian AlQuran bi AlQuran (bi artinya = dengan). Untuk mengetahui siapa Allah dalam Al Quran, saya tidak mengkajinya pakai Alkitab (tidak pakai cara ‘sola scriptura’) melainkan dengan cara bi (dengan) Al Quran itu sendiri, misal, salah satunya adanya ayat Al Quran yang tegas menuliskan bahwa Allah yang dikabarkan dalam Al Quran adalah Allahnya Ibrahim (Abraham), Ismail, Ishak dan Yakub (baca QS. Ali Imran 84) serta di ayat lain dalam sebuah peristiwa yang dikisahkan dalam Al Quran ada pula mengungkapkan bahwa “tidak ada Allah yang benar selain Allahnya Israel”. Nah, kemudian, setelah tadi melalui metode ‘sola scriptura’ diketahui bahwa Allah dalam Alkitab adalah Allahnya Israel dan melalui metode ‘Al Quran bi Al Quran’ diketahui juga bahwa Allah dalam Al Quran adalah Allahnya Israel, maka baru kemudian pembaca buku ALLAH DALAM ALKITAB DAN AL QURAN itu bisa mulai menyimpulkan sendiri apakah Allah yang diperkenalkan oleh kedua kitab tersebut adalah Sesembahan yang sama atau berbeda. Begitulah cara (metode)-nya, cukup sederhana bukan?
            Kemudian, kelemahan pemahaman Esra dalam hal menganalisa tulisan saya juga tampak nyata ketika Esra menuliskan: “Jikalau menurut Frans Donald sebuah istilah yang tidak ada di dalam Alkitab berarti ajarannya/konsepnya juga tidak ada, lalu bagaimana dengan istilah ‘Sola Scriptura’ sendiri yang ia pakai? Frans Donald menulis “Tapi kalau suatu ‘Iman Kristiani’ dibangun bukan atas dasar konsili-konsili, melainkan atas dasar Alkitab (Sola Scriptura), ….” Berarti Frans Donald percaya pada doktrin ‘Sola Scriptura’. Sekarang saya minta kepada Frans Donald untuk menunjukkan kepada saya 1 ayat saja dalam Alkitab yang ada kata ‘Sola Scriptura’nya. Cari sampai mabuk pun anda tak akan bisa menemukannya karena memang kata itu tidak ada di seluruh Alkitab” (garis bawah saya [Frans Donald] tambahkan). Silahkan pembaca perhatikanlah pada frase tulisan Esra diatas yang saya garis bawahi yaitu “…ajarannya…”, “istilah ‘Sola Scriptura’”, dan kemudian ditegaskan, melalui KESIMPULANNYA SENDIRI, Esra berkata dengan yakin pada seluruh masyarakat NTT melalui Koran umum: Berarti FRANS DONALD PERCAYA PADA DOKTRIN SOLA SCRIPTURA”. Dengan analisa yang sangat lemah Esra mengklaim (menyimpulkan semaunya sendiri) bahwa Frans Donald PERCAYA PADA DOKTRIN SOLA SCRIPTURA. Esra menganggap ‘sola scriptura’ yang dipahami oleh Frans Donald adalah sebagai suatu DOKTRIN ??? Di sini kelihatan telanjang sekali bahwa SARJANA TEOLOGI satu ini terbukti sangat bodoh. Sekali lagi, apakah tentang kasus semacam ini saja saya harus menjelaskan pada seorang SARJANA TEOLOGI seperti menjelaskan pada anak yang duduk di bangku SEKOLAH DASAR? Ketahuilah wahai Esra Alfred Soru SARJANA TEOLOGI, ingatlah betul-betul bahwa Frans Donald samasekali tidak pernah menganggap ‘sola scriptura’ sebagai doktrin! Sekali lagi, FRANS DONALD SAMASEKALI TIDAK PERNAH MENGANGGAP ‘SOLA SCRIPTURA’ SEBAGAI DOKTRIN!. Tidak sebagai doktrin, sebab ‘sola scriptura’ memang bukanlah doktrin dalam Alkitab melainkan ‘sola scriptura’ itu adalah CARA atau METODE atau dalam istilah keilmuan disebut juga sebagai PISAU ANALISIS. Cara (metode, pisau analisis) berbeda dengan yang namanya doktrin! Dengan Esra berkata “doktrin sola scriptura”, ini sebenarnya  tanpa disadarinya Esra telah menelanjangi kebodohannya sendiri, sekaligus mempermalukan dirinya yang bergelar SARJANA TEOLOGI. Esra rupanya benar-benar tidak sanggup membedakan antara “CARA (METODE, PISAU ANALISIS)” dengan “DOKTRIN”. Sebagai contoh, istilah ‘Doktrin Tritunggal’ tidak boleh diganti dengan ‘Cara Tritunggal’ atau ‘Metode Tritunggal’, begitu pula dengan ‘METODE sola scriptura’ (=CARA ‘sola scriptura’ atau = PISAU ANALISIS ‘sola scriptura’) tidak tepat dipahami sebagai ‘DOKTRIN sola scriptura’. Sekali lagi saya tegaskan, artinya, seharusnya sebagai SARJANA, Esra harusnya  (semestinya, selayaknya) tahu bahwa ketika seseorang menulis kalimat “iman kristiani dibangun … atas dasar Alkitab (Sola Scriptura)” adalah SANGAT KELIRU jika dipahami sebagai “atas dasar DOKTRIN sola criptura”, hingga Esra dengan yakin berkata Berarti Frans Donald percaya pada doktrin ‘Sola Scriptura’”. Sayang sekali, sungguh tragis sekali kelemahan analisis seorang Esra Alfred Soru yang berani mengklaim diri sebagai gembala itu. Jika gembalanya saja begitu bodoh dan lemah nalar, tentu hal itu akan membahayakan (menyesatkan) bagi domba-domba yang mengikutinya, bukan? Nah, pemahaman-pemahaman sederhana seperti ini saja Esra begitu lemah, namun sayang sekali Esra begitu cepat menghakimi orang lain sebagai bodoh, sesat, penipu, manipulator ulung, dsbnya. Sangat tragis! Dan sebagai tambahan informasi, silahkan coba pembaca menyimpulkan sendiri apakah benar dalam buku ALLAH DALAM ALKITAB DAN ALQURAN saya (Frans Donald) bisa dianggap sebagai “PERCAYA PADA DOKTRIN SOLA SCRIPTURA” atau, Frans Donald “MEMAKAI METODE SOLA SCRIPTURA” ? Perhatikanlah, inilah kalimat yang saya tulis dalam halaman awal buku ALLAH DALAM ALKITAB DAN AL QURAN tersebut: “Dalam buku ini, Penulis sedapat mungkin menggunakan metode “Kitab Suci apa adanya”: membaca Al Quran dengan metode tafsir al-Quran bi al-Quran, yaitu penafsiran ayat Al Quran dengan ayat Al Quran juga; membaca Alkitab (Bible) dengan metode sola scriptura (hanya Alkitab saja) dan scriptura interpres scriptura (Alkitab ditafsirkan oleh Alkitab sendiri, ayat menjelaskan ayat) …” – selengkapnya baca buku ALLAH DALAM ALKITAB DAN ALQURAN pada bagian CATATAN PENULIS. Apakah dari tulisan tersebut artinya FRANS DONALD PERCAYA PADA DOKTRIN SOLA SCRIPTURA, seperti kesimpulan yang Esra kemukakan? Samasekali tidak, bukan? Sebagaimana sudah saya jelaskan tadi untuk Esra SARJANA TEOLOGI secara lebih detail dan seksama seperti penjelasan untuk anak yang masih duduk di bangku SD.
Dari apa yang sudah Esra sampaikan (tuduhkan pada Frans Donald) soal doktrin sola scriptura” a la Esra tersebut, ada 2 analisa kemungkinan yang saya tangkap, kemungkinan pertama adalah Esra Alfred Soru memang tidak paham soal “sola scriptura” yang dimaksud dalam buku Frans Donald tersebut, alias nalar Esra sangat bodoh (saya katakan Esra ‘sangat bodoh’ mengingat gelarnya adalah SARJANA TEOLOGI, yang seharusnya nalarnya tidak boleh selemah itu). Atau kedua, adalah Esra Alfred Soru menuliskan argumennya itu dalam rangka berupaya memelintir data guna ambisinya membabi buta menyerang Frans Donald, hingga tanpa disadarinya justru ia menelanjangi atau mempermalukan dirinya sendiri melalui Koran umum yang dibaca banyak orang!
            Kemudian soal Esra menyatakan bahwa “Alkitab dan Al-Quran merupakan 2 buah Kitab Suci yang bukan hanya berbeda tetapi juga bertentangan! Sebagai contoh, dalam Alkitab dikatakan bahwa Abraham mempersembahkan Ishak, sedangkan dalam Al-Quran dikatakan bahwa Abraham mempersembahkan Ismael”.  Pernyataan Esra ini adalah pernyataan yang keliru dan sangat gegabah. Namun pernyataan Esra yang keliru saat menilai Al Quran ini bisa saya maklumi sebab Esra belum mengkaji Al Quran dengan pendekatan yang intelektual, positif dan tanpa prasangka negatif. Tapi soal kegegabahannya, itu tidak bisa dimaklumi mengingat gelarnya adalah SARJANA TEOLOGI. Dan soal hal contoh yang disebutkan Esra itu (perihal Abraham mempersembahkan anaknya) juga tidak perlu saya bahas di sini. Apalagi disitu Esra berkata: Alkitab dan Al-Quran merupakan 2 buah Kitab Suci yang bukan hanya berbeda tetapi juga bertentangan! Sebagai contoh, dalam Alkitab dikatakan bahwa Abraham mempersembahkan Ishak, sedangkan dalam Al-Quran dikatakan bahwa Abraham mempersembahkan Ismael. Ini betul-betul 2 cerita yang bertentangan frontal; dan tidak mungkin bisa diharmoniskan! Ini baru contoh tentang cerita, lebih-lebih kalau contoh perbedaan / pertentangan secara doktrinal! Misalnya dalam hal doktrin Allah Tritunggal, keilahian Kristus, Penebusan, keselamatan oleh iman saja, dan sebagainya. Jadi, seseorang yang mempunyai logika, hanya bisa menerima salah satu dari kedua Kitab Suci ini sebagai yang benar. Menerima kedua-duanya merupakan tindakan bodoh yang tidak mempunyai akal sehat! Dan menerima keduanya sambil juga percaya doktrin ‘Sola Scriptura’ adalah tindakan yang lebih bodoh lagi’! Dan itulah yang dilakukan Frans Donald. (garis bawah saya tambahkan). Dari pernyataan Esra tersebut (terutama yang saya garis bawahi) terkesan seolah Esra sudah tahu betul hakikat dan kandungan ayat-ayat Al Quran dan sudah merasa paling pintar sehingga berani mengatakan bahwa orang yang menerima kedua Kitab Suci itu (Alkitab dan Al Quran) merupakan orang bodoh yang tidak mempunyai akal sehat. Untuk pernyataan Esra yang sudah merasa paling pintar dan paling berakal sehat tersebut, maka saya (Frans Donald) tidak perlu menanggapi lebih jauh, untuk itu saya serahkan saja penilaiannya kepada para pembaca yang berintelektual dan jujur untuk masing-masing orang silahkan menganalisanya sendiri seperti apakah kualitas (bobot) penalaran seorang Esra Alfred Soru SARJANA TEOLOGI yang sudah merasa berakal sehat itu. Hanya saja saya ingatkan, wahai Esra Alfred Soru, sebelum anda belajar banyak tentang Al Quran (dan juga Islam) dengan pikiran positif, tulus, jujur, penuh kasih, tanpa prasangka negatif, serta dari banyak sumber yang disampaikan oleh para intelektual Islam yang juga banyak mengkaji titik temu Alkitab dan Al Quran (kalimatun sawa), maka sebaiknya anda janganlah seolah sudah merasa tahu tentang Al Quran, apalagi sampai menulis di Koran umum bahwa “Alkitab dan Al Quran merupakan 2 buah Kitab Suci yang bukan hanya berbeda tetapi juga bertentangan”, tanpa anda berikan banyak data dan fakta yang akurat serta teruji tentang hal-hal tersebut. Semua itu hanya akan mempermalukan diri anda sendiri dan semakin membuat kebodohan diri seorang Esra Alfred Soru telanjang bulat di depan masyarakat yang setia membaca Koran Timex.
Kesalah pahaman lain, misalnya juga, ketika di Timex saya berkata pada Anton Bele bahwa: // “Soal penolakkan saya terhadap rumusan doktrin Tritunggal hasil konsili Nikea, Konstantinopel dan Kalkedon, sebenarnya bagi orang-orang ‘Kristen Protestan’ (yang protes / menentang dogma-dogma Katolik Roma) ataupun orang-orang Kristen Katolik, yang dewasa, berhati dingin dan tulus, tentu tidaklah perlu disambut dengan ‘kebakaran jenggot’ atau suatu kemarahan, atau suatu ketersinggungan yang berlebih, sebab adalah sangat perlu dipahami betul bahwa kritik-kritik “Penolakkan terhadap doktrin Tritunggal” ini sebenarnya sudah bukan rahasia atau hal baru lagi bagi para pengajar dan pemikir teologi di berbagai dunia. Di sini saya berikan contoh bukti-bukti akurat penolakkan-penolakkan tersebut, misalnya: The Encyclopedia of Religion menuliskan: “para teolog dewasa ini setuju bahwa Alkitab Ibrani tidak memuat doktrin tentang Tritunggal”. The Encyclopedia of Religion, juga mengatakan: “Para teolog setuju bahwa Perjanjian Baru juga tidak memuat doktrin yang jelas mengenai Tritunggal. // di tulisan saya itu, yang saya sampaikan pada Anton Bele, adalah untuk memberikan bukti adanya FAKTA-FAKTA NYATA bahwa  kritik-kritik “Penolakkan terhadap doktrin Tritunggal” ini sebenarnya sudah bukan rahasia atau hal baru lagi bagi para pengajar dan pemikir teologi di berbagai dunia, contohnya (seperti dicatat oleh The Encyclopedia of Religion) yaitu “PARA TEOLOG SETUJU BAHWA ALKITAB IBRANI TIDAK MEMUAT DOKTRIN TENTANG TRITUNGGAL” dan PARA TEOLOG SETUJU BAHWA PERJANJIAN BARU JUGA  TIDAK MEMUAT DOKTRIN YANG JELAS TENTANG TRITUNGGAL”.  Nah, para pembaca yang bersahaja, perhatikanlah dengan seksama dengan hati dan pikiran yang jernih, bukankah frase atau kalimat “PARA TEOLOG SETUJU BAHWA ALKITAB IBRANI TIDAK MEMUAT DOKTRIN TENTANG TRITUNGGAL” dan PARA TEOLOG SETUJU BAHWA PERJANJIAN BARU JUGA TIDAK MEMUAT DOKTRIN YANG JELAS TENTANG TRITUNGGAL”  tersebut sudah sangat jelas sekali mengatakan bahwa PARA TEOLOG (atau = BANYAK TEOLOG) SETUJU BAHWA PERJANJIAN LAMA DAN PERJANJIAN BARU TIDAK MEMUAT DOKTRIN TENTANG TRITUNGGAL. Fakta-fakta adanya tulisan yang mengatakan bahwa  PARA TEOLOG SETUJU BAHWA ALKITAB IBRANI TIDAK MEMUAT DOKTRIN TENTANG TRITUNGGAL ini adalah samasekali bukan dusta atau menipu atau fitnah atau bohong seperti yang Esra tuduhkan pada saya. Kalimat tersebut tertulis di The Encyclopedia of Religion. Sedangkan soal apakah penulis atau penyusun buku The Encyclopedia of Religion itu adalah orang yang menganut Trinitas atau tidak, itu samasekali bukanlah soal yang sedang saya bahas, sehingga saya tidak perlu mengutip pernyataan The Encyclopedia of Religion yang lain seperti yang Esra permasalahkan. Tampak sekali Esra tidak menangkap maksud tulisan saya untuk Anton Bele tersebut, dimana Esra berkata: “…Jadi rupanya Frans Donald hanya melihat dan mengutip bagian awal dari penjelasan dalam The Encyclopedia of Religion tetapi mengabaikan bagian-bagian selanjutnya. Mengapa ia melakukan itu? Karena bagian awal itu kelihatannya mendukung pandangannya sendiri. Benar-benar sebuah tindakan yang tidak fair dan bersifat menipu.” Di situ Esra sampai menuduh Frans Donald menipu adalah disebabkan tampaknya dari dulu Esra memang sudah terlanjur berpikir negatif dan salah paham terhadap sebagian besar tulisan-tulisan Frans Donald, hingga tulisan ini pun disalah pahami lagi. Oh my God…!, betapa bodohnya SARJANA TEOLOGI satu ini. Yang hendak saya (Frans Donald) tekankan adalah bahwa buku The Encyclopedia of Religion (Ensiklopedi Agama) jelas-jelas mengakui adanya PARA TEOLOG yang SETUJU BAHWA ALKITAB IBRANI TIDAK MEMUAT DOKTRIN TENTANG TRITUNGGAL, ini sudah cukup jelas sekali, bukan? Siapa saja orang (pembaca) yang jujur yang membaca kalimat “PARA TEOLOG SETUJU BAHWA ALKITAB IBRANI TIDAK MEMUAT DOKTRIN TENTANG TRITUNGGAL” tentu tidak mungkin akan menangkap arti sebaliknya sebagai “PARA TEOLOG TIDAK SETUJU BAHWA ALKITAB IBRANI TIDAK MEMUAT DOKTRIN TENTANG TRITUNGGAL. Frase “PARA TEOLOG SETUJU …” bagaimanapun tidak mungkin akan berarti atau bisa ditafsirkan sebagai “PARA TEOLOG TIDAK SETUJU…”, bukan? Dan harus dipahami betul bahwa ketika saya (Frans Donald) menyajikan apa yang tertulis dalam The Encyclopedia of Religion itu adalah bukan berarti saya sedang menipu pembaca, melainkan adalah saya ingin memberitahu pada pembaca sekalian bahwa argumen-argumen kaum Trinitarian yang seringkali mengklaim bahwa “Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memuat doktrin Tritunggal” itu ternyata patut dipikirkan lagi sebab nyatanya juga ada “PARA TEOLOG DEWASA INI [yang] SETUJU BAHWA ALKITAB IBRANI TIDAK MEMUAT DOKTRIN TENTANG TRITUNGGAL” dan “PARA TEOLOG SETUJU BAHWA PERJANJIAN BARU JUGA TIDAK MEMUAT DOKTRIN YANG JELAS TENTANG TRITUNGGAL”!!! Nah, artinya, meskipun pada kenyataannya kini memang tidak sedikit teolog yang mengklaim bahwa PL dan PB memuat doktrin Tritunggal (contohnya seperti Esra Alfred Soru, Budi Asali dkknya) namun kenyataan tersebut tidak bisa mematahkan fakta bahwa juga ada “PARA TEOLOG yang SETUJU BAHWA PL DAN PB TIDAK MEMUAT TRITUNGGAL” seperti ada tertulis di buku The Encyclopedia of Religion itu. Cukup jelas, bukan? Semoga Esra tidak lemah nalar dan salah paham lagi, lebih-lebih akibat kebodohannya sendiri Esra sampai berani keblinger menuduh orang lain sebagai penipu ulung, dan mempublikasikannya melalui Koran umum. Semua itu hanya akan menjadi bumerang yang sangat menelanjangi kesangatbodohannya sendiri sebagai SARJANA TEOLOGI!
Contoh lain kesalah pahaman Esra (dalam memahami sebuah pesan yang hendak Frans Donald sampaikan) kelihatan makin jelas ‘kelemahan analisanya’ ketika Esra menuliskan: Selanjutnya Frans Donald mengutip New Catholic Encyclopedia yang mengatakan: “Doktrin Tritunggal tidak diajarkan dalam Perjanjian Lama”. Frans menghentikan kutipannya sampai di situ sehingga seolah-olah New Catholic Encyclopedia menolak doktrin Tritunggal. Padahal ketika New Catholic Encyclopedia ini mengatakan bahwa “Doktrin Tritunggal tidak diajarkan dalam Perjanjian Lama”, selanjutnya dikatakan bahwa : “Di dalam Perjanjian Baru bukti yang paling tua ditemukan dalam surat Paulus, secara khusus 2 Kor 13:13 dan 1 Kor 12:4-6. Di dalam Injil-Injil, bukti-bukti dari Tritunggal ditemukan dengan tegas hanya di dalam formula baptisan pada Mat 28:19….Akan tetapi pada banyak bagian dalam Perjanjian Lama, ungkapan-ungkapan digunakan yang oleh bapa-bapa gereja dilihat sebagai referensi atau bayang-bayang dari Tritunggal….Pikiran umat Tuhan sedang dipersiapkan untuk suatu konsep yang akan dilibatkan dalam wahyu yang akan datang terhadap doktrin Tritunggal” (New Catholic Encyclopedia, vol. 14, pg. 306). Dari sini jelas bahwa New Catholic Encyclopedia percaya akan doktrin Tritunggal tetapi malah dikutip Frans untuk menunjukkan pada pembaca seolah-olah menolak doktrin Tritunggal. Pengutipan yang tidak lengkap ini bukankah merupakan sebuah cara yang kotor dan licik dari Frans Donald?..”(garis bawah saya [Frans Donald] tambahkan).
Pembaca yang budiman, perhatikan pernyataan Esra yang saya garis bawahi di atas, yaitu: “Selanjutnya Frans Donald mengutip New Catholic Encyclopedia yang mengatakan: “Doktrin Tritunggal tidak diajarkan dalam Perjanjian Lama. Frans menghentikan kutipannya sampai di situ sehingga seolah-olah New Catholic Encyclopedia menolak doktrin Tritunggal” dan “Dari sini jelas bahwa New Catholic Encyclopedia percaya akan doktrin Tritunggal tetapi malah dikutip Frans untuk menunjukkan pada pembaca seolah-olah menolak doktrin Tritunggal.”. Dari pernyataan Esra tersebut kelihatan sekali bahwa Esra menyangka bahwa Frans Donald hendak menipu pembaca dengan Frans Donald membuat kesan bahwa New Catholic Encyclopedia itu menolak doktrin Tritunggal. Nah, kini injinkanlah saya mengklarifikasi tuduhan Esra tersebut.
Saudara-i pembaca hendaklah memahami betul bahwa ketika saya (Frans Donald) menyajikan pernyataan New Catholic Encyclopedia yang menuliskan bahwaDoktrin Tritunggal tidak diajarkan dalam Perjanjian Lama adalah Frans Donald samasekali tidak sedang berupaya untuk menipu pembaca, dan saya (Frans Donald) juga tidak sedang membuat sebuah tipuan sedemikian rupa yang seolah-olah New Catholic Encyclopedia menolak doktrin Tritunggal, samasekali tidak! Frans Donald paham (dan sadar) betul bahwa buku New Catholic Encyclopedia adalah produk dari Institusi Katolik yang jelas-jelas menganut doktrin Tritunggal! Jadi tidak mungkin saya hendak menipu pembaca -seperti yang dituduhkan Esra pada saya- agar pembaca mengira bahwa New Catholic Encyclopedia menolak doktrin Tritunggal. Dan selain itu, dari sudut pembaca sendiri, tentu siapa pun pembaca yang cerdas akan tahu betul bahwa yang namanya buku produk Institusi Katolik (dalam hal ini yaitu buku New Catholic Encyclopedia) adalah tidak mungkin isinya menolak rumusan doktrin Tritunggal. Artinya, ketika New Catholic Encyclopedia mengatakan bahwaDoktrin Tritunggal tidak diajarkan dalam Perjanjian Lamaitu adalah musti dipahami secara proporsional dan kritis, yaitu sebagai adanya kenyataan bahwa pernyataan tersebut telah sangat gamblang mengungkapkan bahwa ternyata di dalam pandangan teolog-teolog Katolik sendiri (yang mayoritas menganut Tritunggal) berani berterus terang bahwa DOKTRIN TRITUNGGAL TIDAK DIAJARKAN DALAM PERJANJIAN LAMA! Sekali lagi perlu saya (Frans Donald) tekankan bahwa: Saya (Frans Donald) yakin betul bahwa New Catholic Encyclopedia adalah buku produk Katolik (=produk penganut dan pengajar Tritunggal), tetapi dari buku ‘produk Tritunggal’ itu sendiri justru jelas-jelas ada kalimat yang tegas (sangat jelas, tidak ambigu, tidak multi tafsir, tidak bisa diartikan lain) mengatakan bahwa DOKTRIN TRITUNGGAL TIDAK DIAJARKAN DALAM PERJANJIAN LAMA. Dan sebagai tambahan, mungkin perlu juga sekalian pada kesempatan ini saya sampaikan bahwa, jika ditinjau dari sisi lain, jika para pembaca teliti, tentu akan melihat suatu realita bahwa sebenarnya di antara para penganut (bahkan guru-guru) doktrin Tritunggal sendiri sebenarnya mereka berpolemik! Apa realita polemiknya? Realitanya adalah: ada penganut Trinitas / Tritunggal yang mengklaim Perjanjian Lama mengajarkan Tritunggal dan ada pula yang bilang tidak. Itu realita polemiknya. Maka dari itu pula sebabnya banyak teolog-teolog yang sebenarnya tampak kebingungan sendiri soal doktrin Tritunggal yang diajarkannya itu, sebagaimana buku New Catholic Encyclopedia sendiri juga mengakui kebingungan itu dengan menuliskan: “…Hanya sedikit dari antara guru-guru teologi Tritunggal di seminari-seminari Katolik Roma yang pada suatu waktu tidak dipojokkan oleh pertanyaan ‘Tetapi bagaimana kita akan berkotbah tentang Tritunggal?’ Dan jika pertanyaan itu merupakan gejala kebingungan di pihak para murid, kemungkinan hal itu juga merupakan gejala kebingungan yang serupa di pihak guru-guru mereka. Kebenaran dari pernyataan ‘kebingungan’ tersebut tentu dapat dibuktikan oleh siapa saja yang mau mencoba meneliti dan menyelidiki dengan tulus dan serius soal doktrin Trinitas / Tritunggal. Silahkan anda pergi ke toko buku atau perpustakaan buku yang lengkap dan selidikilah semua buku yang mengajarkan Trinitas / Tritunggal. Anda akan menemui sangat banyaknya halaman buku yang ditulis dalam upaya untuk menjelaskan soal Trinitas, namun meskipun sudah bersusah payah menelaah istilah-istilah teologis Trinitas yang membingungkan dan rumit penjelasannya, ternyata para penganut dan peneliti Trinitas tidak pernah mencapai kesepakatan rumusan yang sama tentang Trinitas (dari sepuluh pendeta kemungkinannya bisa ada sebelas versi Trinitas) dan mereka sering masih tetap tidak merasa puas alias terkesan bingung. Nada-nada kebingungan yang serupa juga diungkapkan oleh Imam Jesuit Katolik sendiri yang mengatakan: “Para imam yang dengan cukup banyak upaya telah mempelajari Tritunggal selama tahun-tahun mereka di seminari tentu saja ragu-ragu untuk menyampaikannya kepada jemaat mereka dari mimbar, bahkan pada hari Minggu Tritunggal … Untuk apa seseorang akan membuat umatnya bosan dengan sesuatu yang pada akhirnya pun tidak akan mereka mengerti dengan benar?” (Imam Jesuit Joseph Bracken dalam buku: What Are They Saying About the Trinity?).
Begitulah kira-kira sebagian contoh kesalahpamaham Esra dalam menganalisa pesan-pesan tulisan yang saya dan Unitarian sampaikan. Kelemahan nalar pikir atau nalar analisis Esra juga sangat banyak saya jumpai saat Esra menganalisis ayat-ayat Alkitab yang samasekali tidak menyatakan ‘Yesus Allah sejati’ namun setelah dipelintir oleh otak ular beludak Esra maka berbagai ayat-ayat (yang tidak mengajarkan “Yesus Allah sejati”) tersebut dikesankan sebagai ayat Alkitab yang mengajarkan “Yesus Allah sejati”. Sayang sekali memang, bukan hanya ayat-ayat Alkitab saja, tapi hampir setiap tulisan saya (dan juga golongan lain yang pernah berdebat dengan Esra) tampaknya selalu disalah pahami bahkan disimpulkan sendiri (dipelintir) oleh nalar lemah Esra yang kemudian dilanjutkan dengan tuduhan-tuduhan dan penghakiman dengan kata-kata non-intelektual yang tidak mencerminkan kedewasaan kekristianiannya sebagai seorang yang bergelar SARJANA  TEOLOGI. Dan saya rasa jika Esra selalu berpikir sangat negatif terhadap Unitarian, seperti yang kelihatan sekali dilakukannya terus-menerus selama ini (sejak tulisannya yang awal sampai terakhir), maka sampai kapan pun dan apapun yang kami (Unitarian) sampaikan tampaknya oleh Esra (dan gurunya, Budi Asali) akan selalu diklaim sebagai curang, bohong, dusta, menipu, menyesatkan, dsbnya. Dan saya tidak perlu menanggapi terlalu panjang lagi seputar kelemahan nalar logika seorang Esra Alfred Soru, yang sudah terbukti sangat lemah dan memalukan bagi seorang bergelar SARJANA. Untuk membahas secara detil satu persatu contoh “kelemahan nalar Esra yang lainnya” tentu akan menghabiskan terlalu banyak waktu pembaca dan juga waktu saya. Maka dari beberapa contoh yang sudah saya sajikan selama ini –hal kelemahan nalar seorang Esra Alfred Soru- saya pandang sudah cukuplah. Saya rasa tidak perlu saya sampai menelanjangi “kelemahan nalar” Esra secara habis-habisan melalui media Koran Umum. Saya yakin, orang-orang yang tulus, jujur, bernurani takut akan Allah, yang berintelektual, tentu sudah tahu dan bisa menilai sendiri bagaimana bobot nalar pikir dan mentalitas seorang ESra Alfred Soru SARJANA TEOLOGI yang suka menghakimi orang lain sebagai “penipu ulung, penyesat, licik, dsbnya” itu.
Sekarang ijinkanlah pula saya menyampaikan kepada sekalian para Trinitarian (penganut paham Yesus Allah sejati) yang lainnya juga (seperti pada saudara Anton Bele, James Lola, Nelson M. Liem yang komentarnya terhadap Unitarian pernah juga dimuat oleh Timex atau pun lainnya yang tidak dipublikasikan melalui Timex) seputar MENGAPA UNITARIAN MEMAHAMI BAHWA YESUS BUKAN ALLAH SEJATI DAN MENGAPA UNITARIAN TEGAS MENOLAK TRINITAS. Nah, berikut saya berikan tulisan yang cukup akurat dan intelektual yang disajikan oleh salah seorang tokoh Unitarian Indonesia yang bernama Ellen Kristi (Penulis buku BUKAN ALLAH TAPI TUHAN). Demikianlah:

MENGAPA KAMI (UNITARIAN) TIDAK MEYAKINI TRINITAS
Refleksi Spiritual dan Intelektual Jemaat Unitarian di Indonesia

            Pernah pada suatu waktu dalam sejarah Kekristenan, semua orang Kristen dituntut meyakini bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Teori geosentrisme ini diajarkan Gereja berdasarkan ayat Alkitab yang menyebutkan “sungguh tegak dunia, tidak bergoyang” (Mazmur 93:1; 96:10; 104:5) dan “matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali” (Pengkhotbah 1:5). Sebagai tambahan, Gereja juga mengajarkan bahwa bumi itu datar, dengan merujuk pada cukup banyak ayat yang menyebutkan tentang “ujung-ujung bumi”. Suatu argumen logis disusun: kalau ada ujung-ujungnya, tentulah bumi itu berbentuk seperti lempeng.
            Tak heran, reaksi keras Gereja muncul terhadap ajaran heliosentrisme yang dipopulerkan oleh Galileo Galilei (1564-1642). Lembaga Inkuisisi memerintahkan Galileo untuk mencabut pandangannya. Gagasan heliosentrismenya distigma “heretik” sedang ia dijatuhi hukuman penjara serta buku-bukunya dilarang beredar. Namun, perkembangan pengetahuan akhirnya memaksa Gereja untuk berubah. Seratus tahun setelah kematiannya (1741), nama baik Galileo dipulihkan, walaupun teori heliosentrisme sendiri baru dikeluarkan dari daftar ajaran terlarang tujuh belas tahun setelah itu. Bersamaan dengan kokohnya heliosentrisme sebagai kebenaran ilmiah, lekang pula pendapat bahwa bumi itu datar. Kini semua orang Kristen tahu bahwa bumi itu bulat dan bahwa mataharilah pusat tata surya, bukan bumi.
            Kisah kontroversi Galileo Galileo di atas sedikit banyak paralel dengan situasi kontroversi Trinitarian dan Unitarian yang kita hadapi saat ini. Dari pengalaman Galileo, kita belajar bahwa ditetapkannya satu ajaran sebagai dogma resmi gereja bukanlah jaminan akan kebenaran ajaran itu. Ancaman cap sesat, bidat, heretik, dan sebagainya terhadap ajaran “baru” tidak menjamin bahwa ajaran yang lama pastilah benar. Digunakannya ayat-ayat Alkitab untuk mendukung suatu argumen tidak berarti argumen itu tidak perlu diteliti ulang. Suatu argumen yang sepintas tampak logis belum tentu sahih jika premis awalnya keliru. Itulah pandangan kami tentang dogma arus utama Kekristenan yang bernama Trinitas.
            Sejak mata kami terbuka terhadap cacat-cacat serius dogma Trinitas tahun 1994, dari waktu ke waktu kami makin sadar dan teryakinkan akan makna ayat-ayat Alkitab yang begitu jelas menyatakan bahwa hanya ada satu Allah, yaitu YHWH, Allah Abraham, Allah Ishak, Allah Yakub, dan Allah bangsa Israel; bahwa Yesus bukanlah YHWH, melainkan utusan-Nya, mesias-Nya (yang Ia urapi), anak-Nya yang Ia kasihi, hamba-Nya yang menderita namun akhirnya Ia tinggikan.
Tulisan ini akan memaparkan cacat serius yang kami maksud, yakni bahwa dogma Trinitas bertentangan baik dengan ajaran Alkitab maupun penalaran yang sehat. Apa yang kami paparkan barangkali bukan sama sekali baru, khususnya bagi Anda pembaca yang telah memiliki bekal pendidikan teologi. Memang dogma produk abad keempat ini sebenarnya sejak awal tidak pernah mendapat pengakuan sukarela yang utuh dari umat Kristen. Dogma Trinitas hanya bisa kokoh karena campur tangan politik dan kekuasaan.[1] Hal itu mewujud dalam eksekusi membungkam perbedaan pendapat dengan berbagai bentuk kekerasan. Namun, di berbagai belahan dunia dan waktu selalu saja ada pemikir yang mempertanyakan kembali Trinitas. Apalagi belakangan ini, semakin banyak pemikir Kristen (termasuk yang Trinitarian) yang kian objektif dan kritis terhadap studi teologis sehingga mereka tanpa enggan menunjukkan lubang-lubang dalam bangunan argumen Trinitarian[2].

CACAT ALKITABIAH DOGMA TRINITAS:
BENARKAH YESUS TRINITARIAN?

Ada orang yang mengecam mengapa kami tetap menyebut diri kami Kristen, padahal kami sudah tidak lagi mempercayai Trinitas. Dengan kata lain, ia menjadikan Trinitas – dogma yang dianut mayoritas umat Kristen – sebagai ukuran Kristen atau bukan. Tetapi kami balik bertanya: benarkah Trinitas merupakan ukuran identitas Kristen atau bukan? Kalau kita fair, jawabnya tentulah: tergantung Yesus Kristus. Karena istilah Kristen atau Christian berarti “pengikut Yesus Kristus”, kita harus mengembalikan semua tolok ukur Kekristenan kembali pada Yesus Kristus itu sendiri. Jadi, penentunya bukanlah “menurut aku siapakah Yesus Kristus itu?” melainkan “menurut Yesus Kristus sendiri, siapakah dia itu?”. Apakah ia mengajarkan Allah itu satu tapi tiga, tiga tapi satu? Apakah ia bilang ia YHWH? Kalau jawabannya YA, barulah kecaman sahabat di atas itu dapat dibenarkan. Tetapi jika Yesus Kristus sendiri tidak pernah mengajarkan Trinitas, bahkan tidak mengenal Trinitas atau tidak mempercayai Trinitas, pendeknya jika Yesus Kristus bukan Trinitarian, maka kecaman itu akan berubah jadi bumerang: siapakah sebenarnya yang BUKAN Kristen?
Sejauh yang kami baca dalam Alkitab dan sejarah, ada satu fakta yang amat gamblang dan tak terpungkiri: Yesus adalah orang Yahudi. Dia lahir dalam lingkungan Yahudi, dibesarkan dalam keluarga Yahudi yang taat, menjalankan ortopraksi agama Yahudi, dan meyakini kebenaran konsep Yahudi tentang Allah.

“Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi.” (Yohanes 4:22)

Perhatikanlah penggunaan kata “kami” dalam ayat di atas. Tidaklah terlalu melebih-lebihkan kiranya kalau dengan membaca ayat ini kita menarik kesimpulan bahwa Yesus mengidentifikasi dirinya dan imannya sebagai bagian dari bangsa Yahudi dengan pengenalannya tentang Allah yang khas. Seperti apakah pengenalan bangsa Yahudi tentang Allah itu? Ada banyak aspek yang dipahami orang Yahudi tentang Allah: bahwa Ia berpribadi, bahwa Ia bersifat moral, bahwa Ia menciptakan dunia, dan sebagainya. Tetapi di atas segala aspek dan sifat-sifat Allah itu, keyakinan inilah yang paling utama dalam Yudaisme: bahwa Allah itu esa, unik, satu-satunya, tidak ada yang lain; Ia tidak bisa dan tidak boleh disamakan dengan apa pun di luar diri-Nya.
Monoteisme radikal merasuk ke segenap ajaran, ritus, dan budaya Yahudi. Iman ini diajarkan kepada setiap orang Yahudi sejak ia masih kanak-kanak. Syahadat yang harus selalu diingat adalah:

שְׁמַע, יִשְׂרָאֵל:  יְהוָה אֱלֹהֵינוּ, יְהוָה אֶחָד.
וְאָהַבְתָּ, אֵת יְהוָה אֱלֹהֶיךָ, בְּכָל-לְבָבְךָ וּבְכָל-נַפְשְׁךָ, וּבְכָל-מְאֹדֶךָ.

“Dengarlah, hai orang Israel, YHWH Allah kita, YHWH itu esa.
Kasihilah YHWH, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ulangan 6:4-5)

Ketika kata “esa” dalam Shema di atas diucapkan, dapat dipastikan bahwa dalam benak orang-orang Yahudi sama sekali tidak terlintas konsep bahwa YHWH itu satu kesatuan dari tiga Pribadi. Cara berpikir Yahudi yang konkret tidak punya tempat untuk gagasan spekulatif seperti itu. Kata echad (atau achat, bentuk femininnya) bermakna bilangan satu secara sederhana. Echad adalah kata sifat yang paling sering dipakai dalam Perjanjian Lama, lebih dari 900 kali, dalam makna “satu” yang sederhana ini. Yang paling penting, echad jelas mengandung makna “tunggal, satu-satunya, hanya satu, seorang diri” (lihat Bilangan 10:4; Yosua 17:14; Ester 4:11; Yesaya 51:2).
Konsep esa yang mutlak ini tidak berubah sekalipun istilah Allah diungkapkan dalam bentuk jamak elohim. Dalam bahasa Ibrani tidak semua kata bentuk jamak juga berarti jamak. Ada beberapa kata yang bentuknya jamak (berakhiran -im) yang bermakna tunggal. Misalnya, kata chayyim (hidup) dan panim (wajah): bentuknya jamak, tetapi dalam PL justru lebih sering berarti tunggal. Misalnya, dalam Kejadian 23:1 waktu Sarah meninggal, dikatakan “hidup-hidup (chayyim) Sarah 127 tahun”; atau Kejadian 43:31, setelah meratap dikatakan Yusuf “mencuci wajah-wajahnya (panim)” (lihat juga Kejadian 17:3; 16:6). Jelas bahwa Sarah tidak hidup berkali-kali, Yusuf juga tidak bermuka dua atau lebih, tetapi begitulah bahasa Ibrani. Ada kalanya kata benda jamak dipakai untuk arti tunggal, termasuk di sini kata elohim.[3] Makna tunggal dari kata elohim biasanya dapat dicerna dari kata kerja bentuk tungal yang menyertainya.
Kata elohim dalam khasanah bahasa Ibrani mengandung arti lebih luas daripada god dalam bahasa Inggris. Elohim tidak hanya bisa dipakai untuk YHWH, tetapi juga semua dewa-dewi bangsa lain, seperti Dagon, Kamos, Asytoret, Milkom, dan sebagainya. Elohim juga bisa merujuk kepada pribadi manusia atau malaikat yang ditinggikan oleh Allah, seperti Musa (Keluaran 4:16; 7:1). Namun, sekalipun di dunia ini ada banyak elohim, sesuai pengajaran Taurat Musa, YHWH adalah Allah di atas segala allah (elohei ha elohim, Ulangan 10:17). YHWH adalah satu-satunya Allah yang benar, tidak ada Allah sejati selain Dia yang patut disembah (Ulangan 32:39; Keluaran 20:1-3; Yesaya 43:10; 44:6,8,24; 45:5,12; dsb.). Demikianlah pengenalan monoteistik radikal Israel yang terus bertahan sejak zaman para bapa dan nabi hingga sekarang.
Memang dalam berbagai kesempatan Yesus Kristus sering mencela para elit pemuka agama Yahudi tentang hidup rohani mereka. Mereka kurang kasih, mereka terlalu terpaku pada tradisi dan ritus (legalisme), mereka suka sok suci, dan sebagainya. Namun perlu kita baca baik-baik bahwa tidak pernah sekalipun Yesus mencela saudara-saudara sebangsanya dalam hal pengenalan mereka tentang Allah. Sebaliknya, ia justru membenarkan keyakinan mereka tentang keesaan Allah. Jika tidak bagaimana mungkin ia berkata, “keselamatan datang dari bangsa Yahudi”?
Selain ayat Yohanes 4:22 di atas, ada perikop lain dalam Markus 12 yang dengan amat jelas memperlihatkan sikap Yesus Kristus terhadap monoteisme radikal Yahudi.

28 Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya: "Hukum manakah yang paling utama?"
29 Jawab Yesus: "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.
30 Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.
31 Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini."
32 Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: "Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia.
33 Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan."
34 Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: "Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!" Dan seorangpun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus.

Jika dipahami dalam bahasa sehari-hari, pertanyaan ahli Taurat itu kepada Yesus dapat diartikan kira-kira begini: “Apa sih sebetulnya inti keyakinan dan ajaran Anda? Prinsip mana yang paling penting dalam teologi Anda?" Jawaban Yesus tidak berputar-putar ke salah satu perintah Taurat, bahkan tidak pula ke salah satu dari Sepuluh Hukum, melainkan langsung mengutip Shema, syahadat nasional bangsa Israel/Yahudi. Ia tidak menambahi ataupun mengurangi apa yang pernah diajarkan Musa kepada bangsa Israel. Ia jelas menganggap Ulangan 6:4-5 itu sebagai kebenaran ilahi: “Shema Yishraeil, YHWH eloheinu YHWH echad!”
Arti penting jawaban Yesus Kristus ini tidak dapat disepelekan. Ia sedang diuji oleh para pemuka agama Yahudi. Jawaban yang salah akan merusak kredibilitasnya di hadapan bangsa itu. Di sisi lain, kita yakin ia bukanlah penjilat yang sekedar ingin menyenangkan hati si penanya. Yesus Kristus sungguh-sungguh serius dengan jawabannya, memang itulah prinsip yang paling pokok dari seluruh ajarannya. Terlihat kemudian bahwa bahkan si ahli taurat yang bertanya pun sangat terkesan oleh jawaban Yesus. Ia yang tadinya ingin menjebak dan menjatuhkan Yesus, malah balik memuji dia dengan hangat. “Tepat sekali, Guru, benar katamu itu, bahwa Dia esa dan tidak ada yang lain kecuali Dia.” Sebaliknya, Yesus sendiri juga menyambut positif afirmasi dari si ahli Taurat dan berkata, “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!”
Adakah dalam percakapan ini suatu isyarat bahwa Yesus menganggap dirinya sendiri Allah sejati? Adakah kesan Yesus menyetarakan dirinya dengan YHWH? Adakah petunjuk bahwa Yesus mengajarkan Allah itu satu kesatuan dalam tiga pribadi? Kami tidak melihat secuil pun. Justru dari percakapan ini tampak gamblang fakta bahwa antara Yesus dan si ahli Taurat (mewakili iman ortodoks bangsa Yahudi) tidak ada pertentangan apa pun dalam masalah teologi yang paling dasar. Marilah kita yang mengaku Kristen bandingkan pemikiran teologis kita masing-masing dengan pernyataan terbuka Yesus tentang fondasi dari “agama”-nya!
Adalah sindrom “pemujaan berlebihan terhadap Yesus Kristus” yang membuat banyak orang memaksakan makna Trinitarian dalam ayat-ayat tertentu. Misalnya, ketika membaca Yohanes 1:1 dan Yohanes 10:30. 
 
Ἐν ἀρχῇ ἦν  λόγος, καὶ  λόγος ἦν πρὸς τὸν θεόν, καὶ θεὸς ἦν  λόγος.
 
Bahwa Sang Firman bersama-sama dengan Sang Allah sudah jelas menunjukkan bahwa Sang Firman bukanlah Sang Allah! Ini sesuai dengan kesaksian Yesus bahwa ia adalah pribadi yang terpisah dari Bapa (Yohanes 8:16-18). Kalaupun Firman disebut “allah”, sebutan itu bukanlah sesuatu yang Trinitarian, karena dalam pemahaman teologis Yudaistik baik manusia maupun malaikat yang ditinggikan YHWH dapat disebut elohim (Mazmur 82:6; Yohanes 10:34-36). Jika Yesus hendak disetarakan dengan YHWH, mengapa Musa dan sekelompok makhluk ilahi dalam Mazmur 82:6 itu tidak? Bukankah mereka semua juga disebut elohim? 
Cara tafsir serupa berulang ketika membaca Yohanes 10:30. 
 
ἐγὼ καὶ  πατὴρ ἕν ἐσμεν.
 
Mengapa harus buru-buru menafsirkan kalimat “Aku dan Bapa adalah satu” ini sebagai “Yesus adalah Pribadi Allah yang setara dan sama kekal dengan YHWH”? Ini jelas-jelas penafsiran yang diskriminatif! Jika tidak, tentulah semua rasul dan orang percaya juga menjadi Pribadi-Pribadi Keallahan yang setara dan sama kekal dengan Bapa. Bukankah dalam Yohanes 17:11 dan Yohanes 17:26 murid-murid Yesus (dan kita) pun dapat menjadi satu dengan Bapa dan Yesus, sama seperti Bapa dan Yesus adalah satu? Gaya menafsirkan semacam ini – mengartikan berlebihan (hiperbola) ayat-ayat tentang Yesus, padahal makna yang sama harusnya diterapkan kepada ayat-ayat lain yang menunjuk kepada orang/malaikat selain Yesus – merupakan kekeliruan yang sering dilakukan oleh sebagian penafsir Trinitarian.
Menurut catatan keempat Injil, Yesus Kristus tidak memperkenalkan konsep baru apa pun tentang Allah. Ia tidak tahu menahu tentang dogma Trinitas. Ia sekedar menegaskan ajaran Perjanjian Lama dan apa yang sudah diimani jutaan orang Yahudi sebelum dia bahwa YHWH itulah satu-satunya Allah yang benar, dan YHWH itu esa, tidak ada yang lain kecuali Dia. YHWH ini, yang ia sebut sebagai Bapanya (Yohanes 6:27; 8:54), Yesus akui dalam Yohanes 17:3 sebagai satu-satunya Allah yang benar.

αὕτη δέ ἐστιν αἰώνιος ζωή, ἵνα γινώσκωσιν σὲ τὸν μόνον ἀληθινὸν θεὸν καὶ ὃν ἀπέστειλας Ἰησοῦν Χριστόν.

“Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau [Bapa], satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.”

Pernyataan ini jauh sekali dari klaim bahwa Yesus menganggap dirinya Pribadi Kedua dari Keallahan. Kalimat di atas sangat jernih dan tidak ambigu. Memahami kalimat ini begitu mudah, bahkan bagi orang awam sekalipun, tanpa harus memanggil bala bantuan para teolog atau ahli bahasa. Apalagi jika kita bisa mengulik sedikit bahasa aslinya, akan lebih terasa mendalam isi doa Yesus Kristus itu. Ungkapan “satu-satunya” diambil dari kata Yunani μόνον [monos], yang menurut Strong’s Concordance berarti alone (without a companion), only, merely [sendiri (tanpa pendamping), hanya, cuma]. Sementara, ungkapan “(Allah) yang benar” diambil dari kata Yunani ἀληθινὸν [alethinos], yang mengandung makna asli, sejati, atau nyata. Menggabungkan kedua kata ini bagi Bapa berarti Yesus menegaskan bahwa Bapa itulah satu-satunya Allah yang sejati. Sekali lagi hal ini mengulang iman monoteistik Israel bahwa YHWH adalah “Allah di atas segala allah, Tuhan di atas segala tuhan” (Ulangan 10:17).
Mari kita berpikir sejenak dengan akal sehat dan hati nurani bersih. Semua rasul yang dipilih Yesus adalah orang-orang Yahudi. Sejak kecil mereka telah diajar tentang iman monoteistik Yahudi yang radikal. Sama seperti manusia religius yang lain, mereka tentu perlu “digojlok” ulang sebelum bisa mengubah keyakinan. Terbukti kelak di kemudian hari mereka harus membuat konferensi khusus untuk menafsir ulang aturan tradisional “kecil” dalam Yudaisme seperti sunat dan makanan haram-halal. Maka, seandainya Yesus Kristus benar-benar ingin membuat mereka mengerti dan meyakini Trinitas (bahwa dirinya adalah Pribadi Kedua Keallahan), bukankah seharusnya ia memberikan penjelasan sedetil-detilnya pada mereka, membongkar habis monoteisme Yahudi sampai ke akar-akarnya? Dan jika memang Yesus melakukan itu, tidakkah semestinya penjelasan tentang Trinitas melimpah ruah dalam Perjanjian Baru?
Akan tetapi, bolak-balik kita membuka Perjanjian Baru, satu kata Trinitas pun tidak muncul. Bahkan tidak satu pun dari istilah “Allah” yang jelas-jelas merujuk kepada Allah yang “tiga tapi satu” (the triune God). Pantaslah teolog sekaliber Hans Küng mengeluh, “Mengapa tidak pernah ada pembicaraan tentang Allah yang Triun, yang sebagian teolog sebut sebagai misteri utama dari Kekristenan yang harus dibahas? Di manakah penyebutan Trinitas dalam Perjanjian Baru?”[4] 
Tema pertemuan kita hari ini: “Menurut kamu siapakah Aku ini?” diambil dari penggalan kisah Matius 16 ketika Yesus Kristus berdiskusi tentang identitasnya dengan para murid. Boleh dibilang saat percakapan itu adalah satu waktu yang paling tepat bagi Yesus untuk mengungkapkan siapa ia sebenarnya. 
 
13 Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: "Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?"
14 Jawab mereka: "Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi."
15 Lalu Yesus bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?"
16 Maka jawab Simon Petrus: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!"
17 Kata Yesus kepadanya: "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga.
 
Ternyata, alih-alih mendeklarasikan Keallahannya, Yesus memberi pengumuman yang berbeda. Ia mengiyakan pernyataan Petrus bahwa ia adalah Mesias, Anak (dari) Allah yang hidup. Jawaban itu ia nilai bukan hanya tepat, tetapi juga merupakan penyingkapan dari Bapa di sorga. Sesungguhnya jawaban ini sangatlah Yudais dan sama sekali tidak Trinitarian. Gelar Mesias (“dia yang diurapi”) dan Anak Allah keduanya merujuk kepada keturunan Daud yang dinanti-nanti bangsa Yahudi untuk menyelamatkan nasib mereka dan memerintah bangsa-bangsa. 
Ada pemelintiran makna habis-habisan ketika untuk membela Trinitas seseorang harus mengartikan “Anak Allah” sebagai “Allah Anak”. Menafsirkan Yesus sebagai Allah Anak hanya karena ia disebut sebagai Anak Allah merupakan contoh lain penafsiran yang diskriminatif. Mengapa? Karena gelar Anak Allah melekat bukan hanya kepada Yesus, tetapi juga Salomo (2 Samuel 7:14), seluruh bangsa Israel (Keluaran 4:22; Hosea 1:10), bahkan kepada semua pengikut Kristus yang menang (1 Yohanes 3:1-2). Rasanya tidak sulit untuk memahami bahwa “gelar Anak Allah dalam dirinya sendiri bukanlah sebutan untuk Pribadi Allah atau ungkapan untuk pembedaan metafisik dalam Keallahan. Malahan, menjadi ‘Anak Allah’ berarti seseorang haruslah bukan Allah! Gelar ini adalah sebutan bagi suatu makhluk yang mengisyaratkan sebuah hubungan istimewa dengan Allah. Secara khusus, gelar ini berarti perwakilan Allah. Wali penguasa yang ditunjuk Allah (God’s vice-regent). Ini adalah gelar rajani, mengidentifikasi raja sebagai Putra Allah.”[5] Menyamakan gelar Anak Allah dengan Allah Anak tak pelak lagi merupakan kekeliruan ahistoris yang fatal.
Begitu sulitkah untuk menerima ucapan Yesus apa adanya? Mengapa masih mencari-cari makna tersirat ketika yang tersurat sudah begitu gamblang? Mengapa begitu kuat sebagian orang menggondeli “temuan” makna yang tersirat itu, sampai-sampai berani menentang apa yang tersurat dalam Alkitab? 
Seandainya saja untuk sejenak pikiran kita dapat membaca Alkitab apa adanya, maka kita akan segera dengan mudah memahami kesaksian Yesus sendiri mengenai posisinya terhadap Bapa. Kitab Yohanes penuh dengan kesaksian Yesus tentang keunggulan Bapanya. Yesus menerima segala sesuatu dari Bapa (3:35). Bapalah yang harus disembah semua bangsa dalam roh dan kebenaran (4:23-24). Yesus diutus oleh Bapa dan hamba dari segala kehendak-Nya (4:34). Karya-karya Yesus didasarkan pada petunjuk Bapa (5:19). Hidup Yesus adalah anugerah dari Bapa (5:26). Yesus selalu taat pada kehendak Bapa (5:30). Yesus semata-mata ingin berkenan pada Bapa (8:29). Bapa yang mengutus dan memerintah Yesus dalam semua ucapannya (12:49). Yesus sebagai utusan lebih rendah daripada Bapa yang mengutus (13:16,20). Yesus mengibaratkan dirinya seperti pohon anggur, sedangkan Bapa adalah pemilik pohon anggur itu (15:1). Bapa lebih besar daripada dia (14:28).
Terlalu sukarkah menerima identitas Yesus Kristus “sekedar” sebagai Mesias, Anak (dari) Allah yang hidup seperti yang ia sendiri iyakan? Terlalu beratkah untuk mengakui kenyataan bahwa ia tidak pernah menyatakan diri sebagai Pribadi Keallahan yang setara dengan Bapanya? Apakah kita lebih memilih menjauh dari Kerajaan Allah dengan bergantung pada inti ajaran lain, bukannya: “Dengarlah, hai orang Israel, YHWH itu Allah kita, YHWH itu esa ...”?
 
CACAT PENALARAN DOGMA TRINITAS:
SATU ALLAH ATAU TIGA ALLAH?[6]
 
Salah satu hukum berpikir yang menjadi dasar yang stabil, jelas, dan kokoh dalam penalaran manusia adalah Non-Kontradiksi. Menurut hukum ini, tidak mungkin sebuah pernyataan sekaligus negasi dari pernyataan itu sama-sama benar. Proses penalaran yang menentang hukum ini akan menghasilkan simpulan yang inkonsisten dan tidak bernilai (without truth value). Hukum Non-Kontradiksi inilah yang sejak awal menghadang argumen Trinitarian bagi orang-orang bernalar sehat. Memegang dogma Trinitas berarti melecehkan hukum Non-Kontradiksi. Ketidaksesuaian antara dogma dan nalar ini tampak jelas misalnya dari rumusan Trinitas versi Agustinus.
 
The Father, the Son, and the Holy Spirit constitute a divine unity of one and the same substance in an indivisible quality. Therefore, they are not three gods but one God; although the Father has begotten the Son and, therefore, He who is the Father is not the Son; and the Son was begotten by the Father and, therefore, He who is the Son is not the Father; and the Holy Spirit is neither the Father nor the Son.[7]
 
[Bapa, Anak, dan Roh Kudus menyusun satu kesatuan ilahi dari substansi yang satu dan sama dalam sebuah kualitas tak terbagi. Karenanya, mereka bukan tiga allah, melainkan satu Allah; sekalipun Bapa memperanakkan Anak dan, karenanya, Ia sang Bapa bukanlah Anak; dan Anak diperanakkan oleh Bapa dan, karenanya, Ia sang Anak bukanlah Bapa; dan Roh Kudus bukanlah Bapa dan bukanlah Anak.]
 
Jika diringkas dalam bentuk argumen, keyakinan Trinitas di atas akan ditulis sebagai berikut:
(1)   Ada satu dan hanya satu Allah
(2)   Bapa itu Allah
(3)   Anak itu Allah
(4)   Bapa bukan (tidak identik dengan) Anak
 
Sampai di proposisi keempat saja, argumen itu secara logis sudah berantakan (apalagi kalau ditambah dengan argumen tentang Allah Roh Kudus). Mesin nalar sederhana akan segera mendeteksi bahwa proposisi (4) tidak konsisten dengan proposisi (1-3). Tidak mungkin “ada satu Allah” dan “ada lebih dari satu Allah” diterima sebagai sama benar. Kalau mau tetap logis, salah satu dari proposisi di atas harus dianulir. Tetapi proposisi yang mana? Kalau hanya mengambil (1), (2), (3) simpulannya adalah Sabellianisme, yang sudah dikutuk oleh Gereja sebagai bidat. Kalau melihat (1), (2), (4) simpulannya adalah Arianisme, juga sudah dikutuk sebagai bidat oleh Gereja. Kalau (1), (3), (4) akan disimpulkan bahwa Anak itu Allah tapi Bapa itu bukan Allah – satu pemikiran yang sangat ceroboh sehingga tidak ada yang pernah meyakininya. Sementara kalau yang diambil (2), (3), (4) saja, akan disimpulkan bahwa ada lebih dari satu Allah, berarti Kekristenan tidak monoteistik lagi. Tampaknya tidak ada pilihan yang “ortodoks” dari apa yang para filsuf sebut sebagai dilema Trinitarian ini.
Menghindari topik yang sulit ini, banyak teolog atau pendeta yang lebih suka berkata bahwa Trinitas itu adalah “misteri ilahi”. Mereka meminta umat Kristen untuk “Percaya saja!”. Kata mereka itulah bukti iman, yakni ketika seorang Kristen tetap mempercayai bahwa Allah itu Trinitas sekalipun (atau justru karena) dogma itu tidak masuk akal (tidak konsisten). Mereka berusaha meyakinkan jemaat bahwa orang Kristen harus meninggalkan penalaran kalau sedang bicara tentang Allah. Alhasil, sebagian pemuka Gereja terpaksa menerapkan standar ganda: menciptakan penalaran untuk melarang pemakaian nalar dalam mencerna argumen anti-Trinitas!
Akan tetapi, tidak semua pemikir Trinitarian undur diri dari medan penalaran ini. Sebagian filsuf Kristen Trinitarian merasa “terpanggil” untuk menyelamatkan dogma Trinitas dari status “dogma yang tidak masuk akal”. Para bapa gereja seperti Athanasius, Agustinus, serta Tiga Serangkai dari Kapadokia berusaha menguraikan Trinitas secara nalar. Memang seharusnya begitu. Sebab, apa jadinya kalau teologi meninggalkan hukum Non-Kontradiksi? Setiap orang bebas berpikir sesuka hatinya tanpa ada aturan benar atau salah. Apa jadinya jika kita berpikir bahwa Allah itu Mahakuasa sekaligus serba-tidak-bisa (impotent)? Apa jadinya jika Yesus Kristus pernah lahir sekaligus tidak pernah lahir sebagai manusia? Bahwa kata-kata Yesus itu benar sekaligus salah? Dan seterusnya. Seluruh ajaran Gereja akan menjadi kacau balau. Seperti yang dibilang Timothy W. Bartel, inkonsistensi logis adalah suatu petunjuk nyata adanya kepalsuan (kesalahan, falsehood). 
Alinea-alinea berikut akan memuat analisis logis terhadap formulasi Trinitarian yang umum dipegang di Indonesia. Uraiannya saya upayakan sesederhana mungkin, namun barangkali akan tetap terasa sangat teknis dan agak sulit dicerna bagi Anda yang tidak tertarik studi logika. Namun, saya tetap menuliskannya karena saya yakin suatu saat uraian ini akan bermanfaat bagi Anda yang serius ingin meneliti dogma Trinitas. Sekali lagi, jangan Anda buru-buru berkata: “Kita tidak bisa pakai logika untuk memahami Allah!” Sadarlah, mengucapkan kalimat itu pun adalah hasil dari suatu penalaran (logika). Selama Anda masih memakai bahasa manusia, selama itu pula Anda tidak bisa melarikan diri dari logika. Jadi, terima saja tantangan ini: mari kita bahas “peta kekuatan” logika dogma Trinitas lebih lanjut. 
Menjawab tantangan hukum Non-Kontradiksi itu, sebagian pemikir Trinitarian mencoba bertahan dengan kajian tentang predikasi identitas yang bersifat polygamous. Maksudnya, jika dikatakan ‘x sama dengan y’ maka sebenarnya harus ada penjelasan ‘x sama dengan y itu sebagai apa atau dalam hal apa (x is the same what as y)?’ Kajian ini lantas dikembangkan untuk menjelaskan Bapa, Anak, dan Roh Kudus itu secara bilangan satu – mereka adalah Allah yang satu; tetapi sekaligus secara bilangan tiga – mereka adalah Pribadi (atau hypostasis atau prosopa atau oknum atau modus, dan lain-lain istilah teologis) yang berbeda. Kalau dikembangkan menjadi proposisi menjadi:
 
(4a) Allah Bapa bukan Pribadi yang sama dengan Allah Anak.
 
Proposisi (4a) ini bisa konsisten dengan proposisi (1-3), sehingga susunan proposisi (1-4) bisa bebas dari kontradiksi. Strategi nalar yang sama diterapkan untuk menjelaskan tentang Allah Roh Kudus; bahwa Allah Roh Kudus itu Pribadi yang berbeda dari Allah Bapa dan Allah Anak, tetapi ketiganya adalah satu Allah. Lantas keseluruhan dogma Trinitas dirumuskan sebagai berikut:
 
“Bapa, Anak, dan Roh Kudus secara bilangan adalah satu Allah, tetapi secara bilangan adalah tiga Pribadi”
 
Sayangnya, rumusan modifikasi di atas belum dapat menyelesaikan konflik dogma Trinitas dengan hukum penalaran. Pertama, teori identitas relatif seperti di atas tidak memiliki contoh sahih nyata selain untuk ketiga pribadi Trinitas itu. Hal itu membuat para pemikir nalar akan bertanya-tanya, apakah rumusan di atas sekedar upaya “akal-akalan” untuk menyelamatkan dogma Trinitas? 
Kedua, secara khusus, rumusan itu melanggar apa yang disebut hukum Leibniz tentang identitas. Menurut hukum Leibniz, dua objek akan dianggap berbeda (tidak identik) jika yang satu memiliki properti yang tidak dimiliki oleh yang satunya. Dengan kata lain, objek x baru bisa dianggap identik dengan objek y jika dan hanya jika x dan y memiliki semua properti yang sama. Lebih jelasnya, dalam rumusan proposisi akan berbunyi seperti ini:
 
(F1) x memiliki properti F; x = y; maka, y memiliki F. 
dan
(F2) x memiliki properti F; y tidak memiliki properti F; maka x  y
 
Kedua model proposisi ini memiliki contoh-contoh sahih yang berlimpah ruah. Berikut ini salah satu contoh sahih untuk (F1):
 
(A1)  Cyrillus dari Alexandria mengutuk Nestorius.
         Cyrillus dari Alexandria = penulis Dua Belas Anathema.
         Maka, penulis Dua Belas Anathema mengutuk Nestorius.
 
dan berikut ini contoh sahih untuk (F2):
 
(A2)  Cyrillus dari Alexandria mengutuk Nestorius.
         Theodorus dari Mopsuestia tidak mengutuk Nestorius.
         Maka, Cyrillus dari Alexandria ≠ Theodorus dari Mopsuestia.
Hukum Leibniz tanpa kesulitan dapat menentukan sahih tidaknya semua susunan proposisi seperti ini, asalkan properti F untuk membandingkan objek x dan y sama. Lagipula, tanpa hukum Leibniz, bagaimana kita bisa mencerna identitas suatu objek dengan benar? Tetapi bagi penganut rumusan modifikasi Trinitas (dengan teori identitas relatif), hukum Leibniz akan bertindak seperti godam yang menghancurkan. Mengapa? Karena seandainya ditemukan satu saja properti (P) yang dimiliki Anak, tetapi tidak dimiliki Bapa, maka simpulan yang dihasilkan adalah ‘Anak bukan Allah yang sama dengan Bapa”. Padahal, ortodoksi Kekristenan meyakini bahwa yang berinkarnasi menjadi manusia hanya Allah Anak. Allah Bapa dan Allah Roh Kudus tidak ikut-ikutan menjadi manusia. Susunan proposisinya seperti ini:
 
(F3)  Allah Anak memiliki properti inkarnasi P.
         Allah Bapa tidak memiliki P.
         Maka, Allah Anak ≠ Allah Bapa. 
         [Dengan kata lain: Maka, ada dua Allah]
 
Contoh properti P untuk (F3) bisa banyak sekali. Misalnya: Allah Anak lahir menjadi manusia lewat rahim Maria; Allah Bapa tidak lahir menjadi manusia lewat rahim Maria. Atau: Allah Anak mati di kayu salib; Allah Bapa tidak mati di kayu salib. Intinya, apa saja properti P yang dimiliki Yesus sebagai manusia, kalau Allah Bapa tidak memiliki, berarti Yesus (Allah Anak) bukan Allah yang sama dengan Allah Bapa. Dus, Kekristenan meninggalkan paham bahwa hanya ada satu Allah. Kekristenan Trinitarian tidak lagi monoteistik.
Masih ada satu-dua upaya dari filsuf Trinitarian pengusung teori identitas relatif untuk menghindari dari hukum Leibniz, tetapi sejauh dikaji secara logis tidak ada yang bisa menyelamatkan ortodoksi Kekristenan. Karena Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus diyakini memiliki properti (sifat, tugas, fungsi, dsb.) yang berbeda-beda, tidak bisa dihindari simpulan bahwa ada tiga Allah, bukan satu Allah. 
Uraian di atas dapat disederhanakan sebagai berikut:
Dalam logika sederhana 1x + 1x + 1x pastilah menjadi 3x. Sekalipun ketiga objek itu jenis dan bentuknya sama – katakanlah ada tiga eksemplar buku yang sama – namun tetaplah jumlahnya tiga. Artinya kalau Bapa adalah Allah, Anak adalah Allah, dan Roh Kudus adalah Allah, mau tidak mau simpulannya adalah ‘ada tiga Allah’. 
Bisa saja formulasi diubah, supaya simpulannya ‘hanya ada satu Allah dengan tiga Pribadi’, sehingga menjadi 1x + 1x + 1x = 1y (di sini x mewakili ‘pribadi’, sedangkan y mewakili ‘Allah’). Namun, jika demikian, berarti Bapa, Anak, dan Roh Kudus secara terpisah tidak bisa disebut Allah. Mereka masing-masing hanya boleh disebut ‘pribadi’: Pribadi Bapa, Pribadi Anak, dan Pribadi Roh Kudus. Berkata bahwa “Bapa adalah Allah” atau “Yesus adalah Allah!” atau “Roh Kudus adalah Allah!” adalah pelanggaran terhadap nalar ini, karena lagi-lagi Anda akan menghasilkan simpulan: ada tiga Allah. 
Jadi, bagaimanakah sekarang Anda yang meyakini Trinitas melarikan diri dari hukum Non-Kontradiksi dan hukum identitas Leibniz? Bersembunyi menanggung malu dan kekacauan nalar di balik argumen “ini adalah misteri ilahi”? Atau menjadi heretik dengan meninggalkan salah satu dari proposisi (1-4) di atas? Betul-betul tidak mudah menjadi Kristen yang ortodoks sekaligus logis, bukan?
 
MENGGUGAT DASAR SEJARAH TRINITAS:
KE MANAKAH KIBLAT IMAN KITA?
 
Isi dari sub-bab ini akan didominasi oleh kutipan-kutipan yang memberi informasi proses pergeseran budaya dan filsafat yang terjadi dalam sejarah Kekristenan dari pola pikir Yahudi ke pola pikir Yunani. Ini akan menjawab secara historis dari manakah datangnya dogma Trinitas. Untuk mempersingkat tulisan, semua kutipan sudah langsung saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Pertama-tama, mari kita cermati bahwa iman bangsa Yahudi dari dulu hingga sekarang tetaplah monoteistik radikal. Keesaan Allah (yakni YHWH), sebagaimana tercermin dalam syahadat Shema (Ulangan 6:4), adalah batu fondasi iman mereka. Malahan di masa pasca Pembuangan – termasuk era Yesus dan murid-muridnya – monoteisme yang mutlak dan ketat (strict) sudah meresap jauh dalam kehidupan rakyat Yahudi sehari-hari.
 
Mengenai soal monoteisme di Israel yang kompleks dan diperdebatkan hangat, ada beberapa hal yang disepakati. ... Monoteisme sebagai pemikiran religius adalah batu penjuru doktrinal [Israel]. Ada persetujuan umum bahwa keallahan tunggal Yahweh adalah kebenaran doktrinal yang terangnya bersinar tambah kuat dan tambah kuat bagi bangsa Israel sampai di masa pasca Pembuangan monoteisme yang ketat dan mutlak menjadi realitas sehari-hari, penanda utama bahkan bagi massa umat Yahudi. ... Bahwa Allah itu satu, tanpa terbagi-bagi dalam sejumlah manifestasi lokal atau individual, dan bahwa Dia adalah satu-satunya Allah diajarkan di dalam Perjanjian Lama. (Robert W. Gleason, SJ)[8] 
 
Untuk melindungi keesaan Allah dari setiap pemajemukan, kelunturan, atau campur aduk dengan ritus-ritus masyarakat sekitarnya, bangsa Israel memilih bagi dirinya sendiri ayat Alkitab itu [Ulangan 6:4] untuk menjadi kredonya yang sampai hari ini menjadi bagian liturgi sehari-hari di sinagog tetapi juga ditekankan sebagai kalimat instruksi pertama bagi anak-anak sekolah yang berusia lima tahun. (Pinchas Lapide)[9]
 
Perjanjian Lama amat sangat monoteistik. Allah adalah satu pribadi yang tunggal. Gagasan bahwa ada Trinitas ditemukan di sana atau bahkan secara samar-samar adalah sebuah asumsi yang lama dipegang dalam teologi, tetapi nyata-nyata tanpa dasar. Yahudi sebagai bangsa, dalam ajaran-ajarannya menjadi penentang keras segala kecenderungan politeistik, dan mereka tetap menjadi monoteis kokoh sampai hari ini. (L.L. Paine)[10]
 
Israel selama berabad-abad menolak segala sesuatu yang menodai atau mengaburkan konsep monoteisme yang murni yang ia bawakan bagi dunia, dan daripada mengakui apa pun yang melemahkannya, bangsa Yahudi siap untuk mengembara, menderita, mati. (Chief Rabbi J.H. Hertz)[11] 
 
Berikutnya, mari kita lihat pengaruh Yudaisme, khususnya monoteisme radikal Yahudi, dalam kehidupan iman jemaat Kristen purba.
 
Pada titik ini tidak ada keterpisahan antara kitab-kitab Perjanjian Lama dengan yang Baru. Tradisi monoteistik dilanjutkan. Yesus adalah seorang Yahudi yang dididik oleh orangtua Yahudi dalam hal kitab-kitab Perjanjian Lama. Ajarannya bersifat Yahudi sampai akarnya; memang sebuah Injil baru, tetapi bukan teologi baru. (L.L. Paine)[12]
 
[Kekristenan] bangkit dari tengah Yudaisme dan monoteisme Yudaisme saat itu, sebagaimana sampai sekarang pun, adalah unitarian. (Leonard Hodgson)[13]
 
Setelah kematian Yesus, para muridnya melanjutkan hidup seperti mereka dulu lakukan semasa ia ada ... Sebelum mereka sadar, gereja sebagai satu lembaga telah terbentuk. [Gereja] menganggap dirinya sendiri sebagai Israel baru, dan namanya “Ecclesia’ adalah satu dari nama-nama dalam PL bagi umat Israel. Satu pandangan telah umum diyakini bahwa gereja di saat kemunculannya tidak lain dari imitasi atau tandingan dari teokrasi Yahudi, namun ia (pun) adalah sesuatu yang betul-betul baru. Anggota-anggotanya adalah orang Yahudi dan secara alamiah bersandar pada model-model yang tersedia bagi mereka dalam Yudaisme, yang adalah satu-satunya agama yang mereka tahu. (Encyclopedia of Religion, cetak miring dari penulis)[14] 
 
Sejarah menginformasikan bahwa dogma Trinitas adalah keyakinan yang asing, bahkan bertentangan, dengan monoteisme Yahudi. Dogma ini muncul sebagai dampak dari bergesernya titik pusat Kekristenan sejak sekitar abad ke-2 Masehi dari budaya (cara pikir) Yahudi yang konkret ke budaya dan filsafat Yunani yang bersifat metafisik dan spekulatif.
 
Kekristenan bersifat historis, secara struktural, konkret, maupun tahap perkembang-an. Lahir dari akar Ibrani-Yudais yang muncul dari agama Semitik, sebagai balik arah dari agama primitif, Kekristenan aslinya terhubung pada semua agama ... Memasuki lingkungan budaya dunia Yunani-Romawi, dengan kreatif Kekristenan menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk pikir Hellenistik maupun Ibrani-Yudais, suatu sintesis yang terbukti cocok dan berhasil untuk tujuan itu. (Encyclopedia of Religion)[15]
 
Ketika dalam abad ke-2 M titik berat gereja dan begitu juga teologinya bergeser secara definitif dari lingkungan Palestina ke dunia pemikiran Yunani, maka gereja menghadapi keperluan mendesak untuk mengungkapkan imannya dalam suatu bentuk yang dapat dipahami secara atau mengikuti cara berpikir Yunani. Akibatnya adalah masuknya cara berpikir metafisik menggantikan bentuk-bentuk berbicara Alkitab yang bersifat konkret. Sebagaimana kita ketahui, pemikiran Yunani berbeda dari pemikiran Alkitab terutama dalam hal ini yaitu, bahwa bagi Alkitab Allah menyatakan diri-Nya dalam sejarah, sedangkan bagi pemikiran Yunani Allah dilihat sebagai yang didasarkan atas keberadaan yang metafisika. (Bernhard Lohse)[16]
 
Kontroversi-kontroversi [untuk masalah-masalah] kecil (subtle) yang kita temukan dalam tulisan-tulisan terkemudian para Bapa gereja hampir seluruhnya tidak didapati dalam Kekristenan purba ... Namun, dalam semua kasus ini, spekulasi sistematis tentang keyakinan-keyakinan itu sendiri minim – atau setidaknya dapat diabaikan jika dibanding-kan dengan perkembangan yang terkemudian. (Richard Popkin & Avrum Stroll)[17] 
 
Sebagaimana semua konsep, makna istilah-istilah religius berubah oleh berubahnya pengalaman dan cara pandang (worldview). Dicangkokkan ke cara pandang Yunani, tanpa bisa dicegah ajaran Kristen pun termodifikasi – bahkan bertransformasi. Pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah ditanyakan muncul ke permukaan dan pra-suposisi Yudais cenderung menghilang. ... Tatkala latar belakangnya berubah dari Yahudi ke Yunani, berubah pula konsep-konsep religius mendasar ... Kita lantas mendapatkan satu kombinasi ganjil – doktrin-doktrin religius Alkitab yang dijalankan lewat bentuk-bentuk filsafat asing. (G.W. Knox)[18]
 
Kita harus dengan jujur mengakui bahwa doktrin Trinitas bukan bagian dari Perjanjian Baru Kristen purba ... Tidak ada jejak gagasan semacam itu dalam Perjanjian Baru. “Mysterium logicum” ini, fakta bahwa Allah adalah tiga tapi satu, terletak sepenuhnya di luar pesan Alkitab. Ini adalah misteri yang Gereja taruh di hadapan orang yang percaya pada teologinya ... tetapi yang tidak terhubung dengan pekabaran Yesus dan para Rasul. Tidak ada Rasul yang akan bermimpi memikirkan adanya tiga pribadi ilahi yang hubungan mutualis dan kesatuan paradoksnya melampaui pemahaman kita. Misteri Trinitas adalah misteri semu yang memancar dari penyimpangan dalam pemikiran logis dari rel Alkitab, dan bukan dari ajaran Alkitabiah itu sendiri. (Emil Brunner)[19]
 
Simbol-simbol iman Kristen – Kredo Para Rasul, Kredo Nicea-Konstantinopel, Kredo Athanasius, ini menyebut yang utama-utama saja – dianggap bangsa Yahudi sebagai semata-mata kontradiksi terhadap penegasan mendasar dari monoteisme Yahudi ini [Ulangan 6:4]. (Lev Gillet)[20]
 
Satu pertanyaan yang menarik dikemukakan oleh kutipan ini:
 
Adalah fakta yang sederhana dan fakta sejarah yang tak terpungkiri bahwa beberapa doktrin utama yang sekarang tampak sentral bagi iman Kristen – seperti doktrin Trinitas dan doktrin kodrat Kristus – tidak hadir dalam bentuk yang diterima umum sepenuhnya dan terdefinisi baik sampai abad keempat dan kelima. Jika mereka bersifat esensial hari ini – sebagaimana semua penegasan kredo dan konfesi ortodoks – tentulah karena semua itu benar. Kalau semua itu benar, tentulah semua itu sudah akan akan selalu benar; tidak mungkin baru menjadi benar pada abad keempat dan kelima. Tetapi jika semua itu benar dan esensial, bagaimana bisa Gereja purba perlu berabad-abad untuk memformulasi mereka? (Harold Brown)[21]
 
Pembaca sejarah yang berpikiran terbuka dan objektif harus mengakui bahwa ada campur tangan politik dalam penobatan Trinitas sebagai dogma resmi Gereja. Penobatan itu pun tidak terjadi secara mulus. Ada banyak perselisihan, pertentangan, bahkan pertumpahan darah untuk mewujudkan status ortodoks dogma ini sebelum dan sesudah Konsili Nicea (325) maupun Konsili Konstantinopel (381). 
 
Kekristenan berasal dari Yudaisme, dan Yudaisme adalah Unitarian ketat. Jalan yang membimbing dari Yerusalem ke [Konsili] Nicea sama sekali tidak lurus. Trinitarianisme abad keempat tidak mencerminkan secara akurat ajaran Kristen purba mengenai kodrat Allah; sebaliknya [Trinitarianisme] adalah penyimpangan dari ajaran [Kristen purba] itu. Karenanya [Trinitarianisme] berkembang melawan oposisi konstan Unitarian, atau setidaknya anti-Trinitarian. (Encyclopedia Americana)[22]
 
Ketika para uskup berkumpul di Nicea pada tanggal 20 Mei 325 untuk menuntaskan krisis itu, sangat sedikit yang berpandangan sama dengan Athanasius soal Kristus. Kebanyakan berposisi di antara Athanasius dan Arius. Meskipun demikian, Athanasius mengatur untuk memaksakan teologinya kepada para delegasi dan, di bawah ancaman Kaisar, hanya Arius dan dua sahabatnya yang pemberani yang menolak untuk menandatangani Kredo [Athanasius]. (Karen Armstrong)[23]
 
Tetapi kaum ortodoksi juga tidaklah bodoh, khususnya Athanasius, yang menjadi Uskup Aleksandria pada tahun 328 dan yang hidup hingga tahun 373 M. Perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan ini sengit. Masing-masing pihak mempergunakan cara-cara yang sering patut disesalkan. (Bernhard Lohse)[24]
 
... perang-perang religius berdarah dalam tubuh Kekristenan di abad keempat dan kelima, ketika ribuan demi ribuan orang Kristen dibantai oleh orang-orang Kristen lain untuk persoalan Trinitas. (Pinchas Lapide)[25]
 
Kutipan-kutipan di atas hanyalah sebagian kecil dari catatan sejarah tentang apa yang terjadi sekitar disahkannya Trinitas sebagai dogma resmi Gereja. Bagi Anda yang tertarik, salah satu buku yang membahas secara rinci pertikaian religius-politik demi Trinitas abad keempat dan kelima telah diterbitkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul Kala Yesus Jadi Tuhan karya Richard E. Rubenstein (Serambi, 2006). 
Pada penghujung sub-bab ini saya ingin mengulang kembali sebagian kesimpulan dalam bab keempat buku saya Bukan Allah Tapi Tuhan (2005) bahwa dogma Trinitas adalah upaya alam pikir Yunani untuk mengungkapkan iman kepada Allah Israel, tetapi dengan mendudukkan Yesus Kristus dan Roh Kudus sebagai Allah Sejati. Proses terbentuknya dogma ini sangat panjang dan melelahkan, juga memunculkan banyak konflik dan kekerasan. Tidak pernah satu rumusan Trinitas benar-benar diterima oleh semua pihak, sesuai dengan kodrat alam pikir Yunani yang metafisik, senang berspekulasi dan berdebat. Bentuk resmi dogma ini pada akhirnya harus diputuskan dengan campur tangan kekuasaan politik, yakni oleh Kekaisaran Romawi, dan ditegakkan lewat putusan-putusan politis juga, yakni oleh kekuasaan Negara Gereja Roma Katolik selama Abad Pertengahan.
Memang memperbincangkan Trinitas, apakah Allah itu esa mutlak ataukah “tiga dalam satu, satu tapi tiga”, pada akhirnya akan kembali ke pangkal masalah: ke manakah kiblat iman kita, Yahudi atau Yunani? Ketika kita membaca Alkitab, apakah kita membacanya dengan kacamata monoteisme radikal Israel ataukah kacamata teologi Abad Tengah yang berkarakter Yunani? Cara baca yang berbeda tentu saja akan melahirkan kesimpulan yang berbeda. Namun satu hal yang pasti: dogma Trinitas tidak akan pernah bisa diperdamaikan dengan monoteisme radikal Israel/Yahudi.
Sekarang kita semua, orang-orang Kristen di Indonesia, diperhadapkan kepada sebuah pilihan, sama seperti Yosua menghadapkan kepada bangsa Israel sebuah pilihan:
 
“Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada YHWH, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini.” (Yosua 24:15a)
 
Dan, seperti Yosua, jemaat Unitarian di Indonesia juga sudah memilih: “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada YHWH!"
Apa pilihan Anda?

(Daftar Pustaka:
Armstrong, Karen. 1993. A History of God : The 4000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. New York : Alfred A. Knopf.
Bartel, Timothy W. 1988. “The Plight of the Relative Trinitarian” dalam Religious Studies No. 24:129-155.
Buzzard, Anthony & Charles F. Hunting. 1998. The Doctrine of the Trinity: Christianity’s Self-Inflicted Wound. Lanham, New York, Oxford: International Scholars Publications.
Ferm, Vergilius (ed.) 1964. Encyclopedia of Religion. Patterson, New Jersey: Littlefield, Adams & Co.
Gleason, Robert W., SJ. 1964. YHWH: The God of the Old Testament. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, Inc.
Killian, Lindsey & Laura Emily Palik. 2004 (terakhir diedit Maret 2007). “The God of the Hebrew Bible and His Relationship to Jesus”.
Lohse, Bernhard. 1994. Pengantar Sejarah Dogma Kristen, alih bahasa oleh DR. A.A. Yewangoe. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Popkin, Richard H. & Avrum Stroll. 1986. Philosophy Made Simple (New Revised Edition). London: Heinemann.)


[1]   William Penn, misalnya, menulis: “Know then, my friend, that the Trinity was born above three hundred years after the ancient Gospel was declared; it was conceived in ignorance, brought forth and maintained by cruelty” [Ketahuilah, sahabatku, bahwa Trinitas dilahirkan lewat tiga ratus tahun setelah diberitakannya Injil purba; ia dikandung dalam ketidakpahaman, dimunculkan dan dipertahankan oleh kekejaman] (dalam Buzzard, 1998:143).
[2]   Karl Rahner, misalnya, mengatakan: “Nowhere in the New Testament is there ... a text with ‘God’ which has unquestionably to be referred to the Trinitarian God as a whole existing in three Persons” [Di dalam Perjanjian Baru tidak ada ... satu ayat pun memuat ‘Allah’ yang tanpa ragu lagi harus dirujuk kepada Allah Trinitas sebagai satu kesatuan dalam tiga Pribadi] (dalam Buzzard, 1998:1).
[3]   Kata-kata berbentuk ganda bahasa Ibrani ini disebut Smith’s Bible Dictionary sebagai jamak keagungan (the plural of majesty). Dalam bentuk jamak ini, dibayangkan seluruh kekuatan sedang dipusatkan kepada benda atau sosok itu. Gaya berbahasa ini ditemui juga di bahasa Babilon pra-Israel dan tulisan bangsa Kanaan. Seperti disimpulkan Augustus Strong, “bentuk jamak mengungkapkan rasa takzim, menandakan keakbaran atau kesempurnaan” (Alva G. Huffer, Systematic Theology, 1960:78 dalam Lindsey Killian & Laura Emily Palik, 2004:4).
[4]   Christianity: Essence, History and Future, hlm. 94 (dalam Buzzard, 1998:2).
[5]   Pendapat ini disampaikan oleh guru besar teologi sistematis Fuller Seminary dan editor New International Dictionary of New Testament Theology, Colin Brown, dalam “Trinity and Incarnation: In Search of Contemporary Orthodoxy”, Ex Auditu, 1991:87-88 (dalam Buzzard, 1998:44).
[6]   Materi sub-bab ini sebagian besar diambil dari tulisan Timothy W. Bartel, The Plight of the Relative Trinitarian (lihat Daftar Pustaka).
[7]   De Trinitate, Buku I pasal 7, terjemahan Stephen McKenna (Washington, D.C.: The Catholic University of America Press, 1963) dalam Bartel, 1988:129.
[8] Yahweh, the God of the Old Testament (1964:6,13).
[9] Jewish Monotheism and Christian Trinitarian Doctrine (1981:27) dalam Buzzard (1998:16).
[10] A Critical History of the Evolution of Trinitarianism (1902:4) dalam Buzzard (1998:30)
[11] Pentateuch and Haftorahs (1960:70) dalam Buzzard (1998:31).
[12] Ibid. (catatan kaki no. 11)
[13] Christian Faith and Practice, Seven Lectures (1952:74) dalam Buzzard (1998:31).
[14] “Church, the primitive Christians”, Encyclopedia of Religion (1964:170).
[15] “Christianity”,  Encyclopedia of Religion (1964:162).
[16] Pengantar Sejarah Dogma Kristen (1994:51).
[17] Philosophy Made Simple (1986:25)
[18] Encyclopedia Britannica Edisi 11 Vol. 6 hlm. 284 dalam Buzzard (1998:137).
[19] Christian Doctrine of God, Dogmatics (1950, I:205, 206, 238) dalam Buzzard (1998:86).
[20] Communion in the Messiah: Studies in the Relationship between Judaism and Christianity (1968:76) dalam Buzzard (1998:30).
[21] Heresies (1984:20) dalam Buzzard (1998:145).
[22] 1956, 27:2941 dalam Buzzard (1998:38).
[23] A History of God (1993:110).
[24] Ibid. (catatan kaki 18) hlm. 71.
[25] Ibid. (catatan kaki 11) hlm. 39 dalam Buzzard (1998:146).